Bismillah. Saya mencoba menulis (lagi) ketika ada junior saya bilang ada seseorang yang mencari saya untuk diundang sebagai pembicara tentang tema kebangsaan. Ini pertama kali saya dicari dengan guru ‘pasangan’ saya, MJ, dalam rangka berbicara sebuah tema yang menjadi ‘concern’ kami di Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi.Menariknya adalah sejak saya bergelut di kuliah ini banyak pihak yang ‘menyayangkan’ mengapa saya aktif di jenis perkuliahan umum yang bertemakan ‘tak jelas’. Entahlah kadang ketika saya tanya jawaban mereka sendiri yang menurut saya ‘tak jelas’ sendiri. Apakah karena latar belakang saya kemudian saya tabu aktif di kegiatan semacam. Belum lagi, SMS atau pesan masuk via FB yang mengatakan tema yang jadi konsentrasi saya adalah sesuatu yang ‘salah’ kalau tak mau dikatakan ‘haram’. Diskusi panjang lebar terjadi via inbox tersebut (meski saya heran mengapa tak nge-wall saja sehingga penetrasi argumentasi beliau bisa lebih besa. Entahlah!). Menyalahkan demokrasi, nasionalisme dan segala jenis diksi yang bertalian dengannya. (semoga kalimat ini tak ‘sensitif’ bagi beberapa pembaca. Aamiin!) 
        Baiklah. Katakanlah saya keliru dan salah dalam konteks pengamalan saya terkait ‘agama’ dan ke’agama’an. Beribu argumentasi diberikan meski terkadang masih berupa katanya dan katanya. Bukankah dalam Islam sendiri, misalnya, ada beragam kitab dengan berbagai dialek meski dengan bahasa yang sama? Bukankah dahulu ada ribuan sahabat yang memiliki ragam perspektif akan ‘agama’ bahkan saat zaman Nabi sekalipun. Tak pernah kita temukan mereka se’heboh’ kita saat ini. Lalu jika kita mengklaim diri kita pengikut beliau mengapa kemudian menjadi lebih ‘brutal’ daripada para pendahulu kita? Ada beragam kegiatan puritanisme ‘agama’ tetapi mengapa klaim mengikuti Sang Pencerah tersebut justru ‘dinodai’ oleh aktivitas yang justru jika kita telaah jauh dari Sang Pencerah? Saya kira jika memakai Sang Pencerah sebagai tauladan terlalu tinggi parameternya.

Mari kita selidiki misalnya apa kata dari beberapa Imam besar yang menjadi rujukan mayoritas dari kita tentang interpretasi beliau akan ‘agama’. Apakah ada indikasi beliau untuk jumawa dan merasa sudah ‘benar’ dalam mengartikan ‘agama’ ini? 

        Imam Syafi’i berkata ” Pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan pendapat orang lain tidak salah”. Bahkan lebih jauh beliau mengatakan, ” Apa yang saya tuangkan dalam kitabku tidak semuanya harus kalian ikuti. Yang benar ambil, yang salah tinggalkan. Sementara di tempat lain, Imam besar lainnya, Hanafi, berkata, ” Jika yang saya sampaikan itu benar, berarti datangnya dari Allah SWT, tapi bila salah itu datangnya dari setan. Pada riwayat lainnya kita pun bisa menemukan fakta dari Imam Ahmad yang mengatakan, “Ambillah yang benar-benar saja dari pendapatku. Yang kalian ragukan, tinggalkan!”. Coba kita perhatikan adakah kesannya dari beliau akan bahwa hanya beliau sahaja yang ‘benar’? Silakan telaah sendiri tetapi dalam pandangan saya pribadi tidak ada, malah beliau memberikan kesempatan pihak lain untuk mencari ‘kebenaran’ yang sama. Beliau adalah ‘the open-minded people’. 
          Sekarang kita telaah lebih dalam lagi tentang bagaimana para imam yang dalam melakukan interpretasi ‘agama’ justru bisa kontradiktif justru hidup dalam suasana toleransi yang agung. Imam Syafi’i justru berkata, “Seluruh manusia di dalam bidang fiqih adalah keluarga Abu Hanifah”. Bahkan Imam Syafi’i yang men-sunnahkan do’a qunut dalam sholat subuh TAPI saat shalat di dekat kubur Abu Hanifah, beliau meninggalkan bacaan qunut (Al-Syarani: 213). Bayangkan sholat dekat kubur Imam Hanafi sahaja demi menghormati beliau, Imam Syafi’i tidak memakai qunut, kita malah ‘bertengkar’ sendiri soal demikian. Dalam riwayat lain misalnya, Imam Malik bin Anas pernah diminta untuk mengajar oleh Al-Walid ibn Muslim di kotanya, Imam malik balik bertanya, ” Apakah Abu Hanifah mengajar di negeri kamu?” Kemudian Al-Walid ibn Muslim menjawab, ” Ya”.Maka Imam Malik berkata, ” Jadi di negerimu tidak perlu lagi didiami ulama lain lagi.” 
        Bayangkan, betapa antar imam (mahaguru) memiliki penghargaan satu sama lain yang sungguh luar biasa. Tidakkah kita yang mengaku sebagai pengikut ulama tak mampu bersikap sedemikian adanya? Bahkan ada kisah yang lebih menarik dimana Imam Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya apakah mau menjadi makmum sholat Imam Malik padahal keduanya berbeda pendapat soal bekam. Imam Ahmad berpendapat bekam membatalkan wudhu sedangkan Imam Malik mengatakan bekam tak membatalkan wudhu. Imam Ahmad yang ditanya justru menjawab dengan jawaban yang sungguh luar biasa. menunjukkan keluhuran budi beliau. Jiwa toleransi yang tinggi. Inilah jawaban Imam Ahmad ibn Hanbal, ” Mengapa aku tidak boleh shalat di belakang (menjadi makmum) Malik dan Said ibn al-Musayyih?”. 
       Mengapa kemudian saya memberikan beberapa fakta sejarah tersebut? Untuk dijadikan sebagai pelajaran penting bahwa klaim benar dan menyalahkan yang lain dimana akhir-akhir ini mulai muncul kembali, adalah perbuatan jelas tak ada landasan sejarahnya dalam khazanah Islam. Perbedaan itu adalah takdir, keniscayaan. mengapa harus diseragamkan? Jangan sampai kita mengklaim diri kita mengikuti ‘alim A, ‘alim B atau ‘alim C atau bahkan ulama lainnya justru setelah diteliti sejarahnya sang ‘alim malah memberikan contoh tauladan yang agung tentang menghargai perbedaan pendapat. tentang toleransi. Maka mari kita senantiasa berusaha sedikit demi sedikit kalau memang tak bisa secara revolusioner untuk menghidupkan (kembali) sikap betoleransi. 
         Saya berterima kasih kepada panitia yang mengundang saya untuk menjadi pembicara karena undangan anda membuat saya mampu menulis ‘coretan sederhana’ ini di tengah kesibukan menulis artikel lain untuk kepentingan pengembangan pembangunan umat yang tengah saya geluti. Untuk mengakhiri ‘coretan sederhana’ ini, ijinkan saya mengutip sebuah pelajaran penting dari Sang Pencerah yang bertalian dengan tema ‘coretan’ ini dan semoga bermanfaat. Sebelumnya saya mohon maaf jika ada kesalahan kata atau kalimat yang menyinggung pembaca sekalian. Kebenaran hanya milikNya, kita hanya manusia yang lemah.
          Sebagai penutup mari kita renungkan hadist berikut ini, “dari Abu Hurairah Ra, bahwasanya Rasulullah bersabda, ” tahukah kalian apakah “orang yang bangkrut” itu? Para sahabat menjawab, ” Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta kekayaan sama sekali.” Maka Rasulullah bersabda, ” Sesungguhnya ‘orang yang bangkrut’ di antara kita adalah sebagian umatku yang membawa pahala shalat, pahala puasa dan pahala zakat pada hari kiamat dan datang membawa dosa, karena mencaci si A, memfitnah si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D dan memukul si E. Lalu dia harus memberikan sebagian pahala kebaikannya kepada si A, si B, si C dan seterusnya, sampai ketika lenyap semua pahalanya belum juga dapat membayar dosa-dosanya. Maka kesalahan (orang-orang yang dizhaliminya itu) dipindahkan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke neraka.” (Shahih Muslim). 
NB: sebagian besar data diambil dari Majalah ISLAMIA dengan pengolahan oleh penulis. 
Surabaya 
1 Desember 2011 
Pukul 10.00 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply