download-6

April menjadi istimewa dalam konteks ke-Indonesia-an, mengingat bulan kita jadikan momentum untuk memperingati sosok pahlawan nasional yang menjadi ikon emansipasi wanita. Oleh Presiden Soekarno, sosok Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan hari lahirnya diperingati sebagai Hari Kartini pada Mei 1964. Tatkala memasuki 21 April, maka akan bermunculan pendapat pro dan kontra terkait sosok pejuang emansipatif yang meninggal dunia pada usia muda ini. Opini kontra didominasi pertanyaan kalangan muslim tentang ‘keabsahan’ sosok Kartini sebagai ikon emansipasi. Mereka ‘protes’ mengapa bukan Cut Nyak Dhien, Laksamana Keumalahayati, Christina Marta Tiahahu atau Emmy Saelan yang terjun langsung memimpin perang melawan penjajah kolonial? Mengapa pula bukan Rohana Kudus yang hidup satu zaman dan pula melakukan perjuangan literatif? Mengapa harus Kartini? Tulisan ini mencoba memberikan perspektif berbeda dari sudut pandang seorang muslim progresif. Pun jua menjawab ‘kegalauan’ kalangan kontra tersebut.

Dalam sejarah Islam, Tuhan menurunkan perintah pertama pada umat manusia melalui Muhammad bin Abdullah sebanyak lima ayat dari surat Al-Alaq yang diterjemahkan dengan apik oleh Kartini, membaca dan menulis, dimana merupakan ketabuan di zamannya. Sejarah membuktikan Kartini adalah penikmat teks-teks berkualitas seperti Maatschappelijk Werk in Indie, De Locomotief dan  Max Havelaar. Bahkan di usia yang masih belia (19 tahun), karya Kartini sudah go international seperti Het huwelijk bij de Kodjas yang terbit tahun 1898 di jurnal Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indie. Hal inilah yang tidak kita temui pada sosok Rohana Kudus. Aktivitas korespondensi dengan para sahabatnya di Belanda adalah langkah ‘internasionalisasi’ percikan ide Kartini. Kegiatan surat-menyurat itu merupakan langkah strategis karena pendokumentasian karya di Belanda jelas lebih baik daripada tanah Hindia saat itu. Karya-karya Kartini ini dapat dinikmati hingga sekarang. Revolusi itu selalu dimulai dari cetusan ide dan supaya menyebar maka tulislah. Kartini menangkap pesan ini dengan baik sehingga membedakannya dengan pejuang wanita lain di zaman.

Ide-ide perlawanan yang dilakukan Kartini terjadi di tanah Jawa. Menurut Airlangga Pribadi (2013), progresifitas tidak hanya dilihat dari tindakan tapi juga dilihat dari situasi dan konteks sosial yang dihadapi. Di tanah Sumatera –khususnya Aceh-, sebenarnya budaya patriarkal tidak begitu kuat secara sosio-historis. Bagi mereka sudah biasa pemimpin adalah wanita seperti Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam, laksamana angkatan laut Keumalahayati atau bahkan pemimpin perang Cut Nyak Dhien. Sementara di tanah Jawa, perempuan menjadi konco wingking, bahkan untuk melangkahpun dibatasi. Fakta itu terdeskripsikan dengan baik dalam nilai budaya yang mengatakan surgo nunut neroko katut. Perbedaan ini menjadikan perjuangan Kartini memiliki nilai rasa tersendiri. Berdasarkan kumpulan suratnya, Kartini melawan dua ‘kuasa’ utama yakni imperialisme sebagai perpanjangan tangan kapitalisme global dan feodalisme yang merupakan ‘kapitalisme’ oleh bangsa sendiri. Walaupun pada akhirnya, melihat realitas yang ada, Kartini ‘terpaksa’ takluk pada dua kuasa yang ditentangnya itu. Perjuangan (awal) tak selalu berakhir kemenangan. Nilai-nilai Kartini diteruskan oleh kaumnya sehingga progresifitasnya dapat ditemukan di abad 21 ini dengan kemunculan Megawati Soekarnoputri sebagai pucuk pimpinan negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sesuatu yang tabu wanita menjadi pemimpin dalam konteks Islam. Bandingkan dengan realitas tanah Sumatera khususnya Aceh yang justru regresif hingga urusan wanita mengangkang di kendaraan menjadi problematika yang hingga kini tetap menimbulkan polemik.

Menilik argumentasi yang dikemukakan, menjadi reasonable ketika sosok Kartini terpilih menjadi ikon perjuangan emansipatif wanita Indonesia. Kiranya tak perlu diperdebatkan lagi. Terpenting bagaimana nilai-nilai yang dulu dicetuskan Kartini mampu mengangkat harkat dan martabat wanita Indonesia yang pada perkembangan kekiniannya mulai mengalami regresifitas. Dengan demikian kita pantas dan bangga mengatakan ‘Selamat Hari Kartini’ yang tak hanya berhenti pada kegiatan seremonial memasak, berkebaya dan berdandan semata. Semoga!

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply