Quick Count vs Real Count

Saya tidak tahu darimana akan memulai tulisan sederhana ini. Tapi #ProgramODOA sudah saya rintis dan seperti wejangan saya pada para audience(s) saat pemberian motivasi atau training, menulislah dari mana saja. Dari mana saja. Biarkanlah idemu mengalir dulu. Nanti bisa kau rombak kembali. Tulisanmu bukan harga mati yang tidak bisa diubah lagi.

Alkisah, di negeri antah berantah telah melaksanakan hajatan demokrasi terbesar kedua di dunia setelah negeri Mahabarata. Dengan peserta 12 orang maka dilaksanakanlah pesta (?) sehari tersebut dan beberapa setelahnya separuh dari jumlah pesertanya ada lembaga ‘ramal’ memberikan hasil trawangan mereka dengan menempatkan peserta X sebagai kampiun, peserta Y sebagai runner-up dan seterusnya. Dengan dibantu masifnya siaran media nasional, publik pun dibius seolah itulah hasilnya. H+1 saja publik sudah menilai pemilu selesai. Pesta berakhir dan abai terhadap proses panjangnya. Proses inilah yang mesti dicermati agar kualitas demokrasi kita kian baik (terlepas ada yang tak suka dengan demokrasi biarlah) ke depannya. Pasca beberapa jam dari penutupan pemilihan misalnya sudah banyak kecurangan dan manipulasi ditemukan. Ini belum kecurangan sebelum dan saat kampanye pemilihan dilakukan. Publik yang awam dengan aturan dan tahapan pemilihan dibius sehingga abai terhadap tahapan pemilihan yang menjadi kunci berkualitas atau tidaknya hajatan dimaksud.

Saya ambil beberapa contoh. Di Malangan ada keberpihakan (atau ketidaktahuan panitia) yang memanipulasi perolehan suara dengan menggelembungkan suara salah satu peserta. Usut punya usut ternyata ini terjadi di banyak daerah. Fenomena gunung es ternyata. Di Surabayan, ada 22 TPS yang surat suaranya tertukar. Kejadian ini malah terjadi di hampir seluruh wilayah negeri antah berantah tersebut. Bayangkan dari 33 provinsi yang mengikuti pemilihan (1 provinsi yakni Kalimantan Utara masih gabung karena pembentukannya menjelang hajatan) kejadian tertukarnya surat suara terjadi di 23 provinsi, 90 kabupaten dan di 590 TPS. Lalu pihak penyelenggara mengatakan ini kejadian biasa. Sekedar human error. Saya tidak tahu kalau memang alasan mereka, seandainya, bukan karena human error akan terjadi di berapa provinsi? Argumentasi sebagai alibi yang tak presisi. Ada pula rumah kades dibakar karena diduga memanipulasi perolehan peserta tertentu. Terungkapnya kasus ‘oto-money’ sebagai wujud begitu tinggi ‘daya ejakulasi’ untuk menumpah ‘mani berkuasa’nya. Ada pihak penyelenggara yang mencoblos sendiri kertas suara. Ada calon individu yang stres dan mengamuk meminta ‘mani yang telah dimuntahkan’nya. Belum lagi modus lama, transaksi jual beli suara dari peserta individu yang perolehan suaranya kecil kepada yang berpeluang jadi. Harga meningkat dari deretan lima digit menjadi enam digit.

Fakta-fakta temuan di atas belum lagi misalnya jika dikorelasikan dengan ucapan mbak Chusnul Mariyah di salah satu universitas ternama ibukota Jekardah. Bahwa transaksi ini bisa terjadi saat membawa kotak suara di pesawat menuju Jekardah. Apatisme publik yang telah terbuai oleh lansiran hitung cepat keenam lembaga ‘ramal’ membuat mereka mengira, hajatan telah usai. Pemenang telah ditetapkan. Inilah bahayanya metode hitung cepat jika masif diberitakan. Padahal basis lembaga ‘ramal’ itu apa? Bagaimana akuntabilitas keuangan mereka? Transparankah? Siapa yang mendanai mereka (kami yang bekerja di lembaga yang sama saja untuk lingkup provinsi dan 3 kali survei dana yang kami minta 3 miliar rupiah)? Lalu kita mempercayai secara membabi buta ramalan mereka. Lebih percaya mana kita dengan KPU yang dibentuk berdasar UU dan bekerja dibawah sumpah? Bisa diawasi dan dibedah buku akuntansinya. Walau tentu dari temuan data di atas, netralitas pihak penyelenggara bisa bermasalah. Apalagi mereka tidak mendapat uang tambahan selain ‘gaji pokok’ bernilai ratusan ribu rupiah semata. Godaan materi, untuk melakukan transaksi suara dan manipulasi data terbuka lebar seperti kasus ada KPPS yang menunda menghitung suara karena ‘gaji pokok’ mereka belum dibayarkan. Mari kita doakan pihak penyelenggara ini diberi kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (walau mungkin ada juga yang tak percaya padaNya) untuk senantiass jujur dan amanah.

Mari kita bedah sedikit saja (tidak bisa semua tentunya) tapi setidaknya membantu kita memahami hajatan ini. Pertama, hasil hitung cepat keenam lembaga ‘ramal’ ini hanya dan hanya mengambil sampel data sebanyak 2000 TPS dari total 545.803 TPS. Sampel tersebut meliputi 2000 desa/kelurahan dan tersebar di 77 daerah pemilihan di 33 provinsi. Silakan kita bagi sendiri tiap provinsi ada berapa TPS yang dijadikan sampel? Menurut anda apakah ini cukup mewakili populasi secata keseluruhan? Apalagi apa basis dari lembaga ramal tersebut? Kalau Real Count tentu ada yakni form C1. Karena bukti materi ini bisa dipakai untuk menggugat jika peserta menilai murni ada ‘kecurangan’ misalnya. Dus, karena urgensi bukti material tersebut dan kekhawatiran sampai ada kasus mobil peserta hajatan yang membawa bukti form C1 di Lomboki, NTB (kalau kasih bukti ini biasanya akan muncul komentar penulis sebagai simpatisan/kader peserta tertentu. Mau apalagi bukti yang saya punya hanya dari mereka) dirampok kelompok bersenjata tajam, mobilnya dirusak. Lalu untuk apakah sampai melakukan itu? Usut punya usut karena di momen seperti ini, harga form C1 melebihi harga emas. Sebuah anekdot yang cukup satir. Bercermin pada rilisan lembaga ‘ramal’ tersebut yang sebelum pemilihan dengan pasca pemilihan mereka malah menjilat ludah sendiri. Lalu sekarang kita mau taqlid buta pada mereka (lagi)? Yah, itu hak anda jika masih tetap.

FYI, tahapan hajatan tersebut masih panjang sampai penetapan resmi dari lembaga resmi keluar. Tapi, publik telah dibuai seolah sudah selesai hanya dan hanya dengan rilisan (sekali lagi) lembaga ‘ramal’ yang tak pernah terbuka tapi menganjurkan keterbukaan. Penghitungan suara resmi (Real Count) misalnya dilakukan dari tanggal 9 April-25 April untuk tingkat TPS hingga provinsi. Dilanjutkan rekapitulasi suara secara nasional dari 26 April hingga 6 Mei. Sedangkan untuk 7-9 Mei baru ditetapkan secara resmi hasil perolehan suara peserta dan memenuhi ambang batas parlemen atau Parliamentary Treshold atau tidak. Konversi perolehan suara menjadi berapa kursi dan siapa peserta individu yang mendapat kursi tersebut (dari pusat hingga kabupaten/kota) pun masih menunggu tanggal 10-18 Mei. Dus, pada hakekatnya, proses atau pada tahapan inilah kunci pesta yang dimaksud. Publik wajib waspada dan menjaga dengan ketat setiap amanah yang diberikan publik. Bukankah Vox Populi Vox Dei (suara rakyat suara Tuhan)? Justru modus-modus transaksi dan manipulasi banyak terjadi di tahapan-tahapan ini seperti ucapan Chusnul Mariyah yang dikutip di bagian awal-awal tulisan ini. Publik harus disadarkan bahwa pesta belum usai. Ironisnya, banyak pengamat politik seliweran di TV abai menjelaskannya sebagai edukasi terhadap publik padahal mereka datang atas nama akademisi yang punya tanggung jawab ini.

Sejak awal saya sudah mewanti-wanti hal ini dan bahayanya jika publik tidak ikut mengawasi jalannya tahapan hajatan maka yang terjadi suara mereka bakal ditransaksikan oleh para ‘iblis demokrasi’ yang sudah lama berkecimpung dalam tiap hajatan serupa baik skala daerah maupun nasional. Banyak contoh hasil Quick Count yang tidak sama dengan Real Count dan kita wajib menunggu hasil resmi dari pihak penyelenggara sembari mendoakan agar orang-orang di komisi dimaksud tak terganggu imannya. Publik pun bisa membantu dalam pengawasan dan bisa dilaporkan pada Bawaslu/Panwaslu yang sampai tulisan ini dibuat masih terkesan kurang tegas menindak temuan kecurangan/manipulasi.

Semoga kita bisa tetap bersabar menunggu tahapan hajatan yang masih sebulan lamanya itu sembari melakukan pengawasan yang ketat untuk meminimalisir para ‘iblis demokrasi’ mengganggu iman penyelenggara yang bekerja. Kita pun sekarang tinggal menunggu hasil resmi Real Count dengan atau tanpa mengesampingkan hasil Quick Count. Selamat berdemokrasi, negeri antah berantah! Semoga lancar, sukses, damai dan berkah.

SURABAYA, 12 April 2014

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply