Sore tadi saya mencari sebuah ATM untuk mentransfer sejumlah uang pada seseorang. Beberapa ada di minimarket tapi dua kali mencoba terjadi ‘error system’ sehingga selalu mengandalkan ATM dekat almamater daerah sekitar Jalan Dharmawangsa. Selalu ada pemandangan unik apalagi di sore hari jelang maghrib dengan suasana mendung lancar merayap.

Tepat di sebuah pertigaan mondar mandir kusaksikan dari kendaraanku seorang nenek tua menjajakan surat kabar yang mungkin terbilang “kadaluwarsa” karena dijual sore hari dimana sebagian besar yang lalu lalang sudah menikmati konten surat kabar yang dijualnya. Saya pun demikian di pagi hari sudah sarapan hampir semua koran yang tersedia cuma-cuma di angkringan (giras kalau bahasa arek Surabaya zaman sekarang).

Tak ada raut sedih atau menyesal bila hilir mudik manusia yang dihampirinya saat lampu merah menyala enggan membeli ‘produk’ jualannya. Beliau tetap tersenyum ramah membuat kesan mendalam bagi yang berkenan memaknainya. Tidak seperti ‘pengemis’ muda bermodalkan anak-anak kecil yang meminta keliling dan ‘misuh’ kalau tidak diberi, meninggalkan sasaran dengan wajah ketus pula.

Selepas memenuhi hajat mengirimkan uang melalui layanan daring tersebut, saya berhenti sehabis pertigaan dan memberi kode sang nenek untuk menghampiri saya. Saya membeli koran yang belum sempat saya baca. Dua buah dari penerbit berbeda. Sebenarnya hendak membeli 3 tapi karena posisinya tidak memungkinkan di tengah lalu lalang dan membuat si nenek harus menyeberang mengambilnya di seberang jalan. Saya pastikan dua buah saja. Saya menanyakan harga dan beliau menyebutkan angka. Saya menyerahkan uang dan menitipkan pesan untuk uang kembaliannya diambil saja.

Diri pribadi suka salut dengan para sesepuh yang memilih jalan bekerja walau usia senja menyapa. Enggan meminta-minta. Ada ghirah dan maruah terpancar dari orang-orang demikian. Tentu dalam setiap kesempatan saya selalu menganjurkan untuk membeli barang-barang jualan mereka. Apapun jualannya. Seperti seorang kakek yang memanggul berpuluh-puluh barang seperti era 1950-an. Beli lah walau tidak seberapa penting mungkin. Niatkan untuk membantu beliau itu. Barangnya bagaimana mas? Ya kalau diri pribadi disimpan dan saat pulang kampung atau berkunjung ke desa diberikan pada yang membutuhkan. Bisa juga di lain waktu dan tempat kita bertemu orang lain di kota yang sama membutuhkannya. Tapi kadang kita sendiri yang butuh. Seperti sebungkus tisu kecil yang kemudian disimpan dalam tas setelah membelinya. Tanpa sengaja saat makan di sebuah warung dan butuh saya teringat kalau menyimpannya ‘sesuatu’ di tas yang selalu setia menemani saya. Tas bermerk terkenal yang mungkin tak setara dengan isinya. Tapi sangat bermanfaat bukan.

Apa makna dibalik semua celotehan di atas? Setidaknya untuk bisa bersedekah, tak perlu beranggapan harus kaya. Mampu dalam konteks berlimpah materi atau harta duniawi. Bersedekah itu soal niat. Berapapun asal kita ikhlas insyaAllah berbuah pahala dan berlipat ganda ganjarannya. Bahkan jika memang tak memegang uang bukankah kita masih punya bibir dan muka yang senantiasa diniatkan untuk tersenyum merekah dan menghindari wajah ketus. Setidaknya kalau tak bisa membeli barang orang-orang seperti diceritakan di atas, doakan mereka. InsyaAllah doa dimaksud akan kembali pada kita. Artinya jangan pernah berpikir bahwa orang yang suka bersedekah itu kaya harta. Mungkin mereka memang kaya. Kaya hati.

Jangan-jangan mas ini pamer atau riya’ ya. Masak berbuat seperti itu saja dibikin tulisan lalu disebar. Bikin program sosial dibagi-bagikan kemana-mana. Bukankah itu pamer. Kawan sekalian, kadang terlintas pikiran aneh itu dalam benak saya. Tapi yang tahu niat kita hanya Allah dan diri sendiri. Maka saat ingin berbuat baik entah itu tertutup atau terbuka tak perlulah dikritisi atau dicela. Laksanakan saja. Kalau boleh jujur, niat memposting itu untuk menggugah agar kita bersama mengambil langkah. Silakan saja dimanapun dan kapanpun. Intinya tujuan postingan hanyalah untuk #SekedarBerbagi siapa tahu dengan postingan ini ada manfaat bisa diambil. Ada informasi yang dapat menjadi hikmah bersama. Kalau terlalu banyak dipikirkan dan menunggu, apalagi menunggu diri berlimpah harta bukan berlimpah ‘hati’, maka mengentaskan kaum dhuafa dari garis mereka akan menjadi pepesan kosong. Jika kritik kita lancar pada pejabat berwenang karena terkesan melupakan mereka, tidakkah kita sadar bahwa itu momentum dari Tuhan yang diberikan agar diri segera mengeksekusi aksi. Dari kontemplasi berbuah aksi diri. InsyaAllah makin banyak kontribusi sebesar atau sekecil apapun itu akan mampu setahap demi setahap memaknai setiap interaksi diri dalam kehidupan ini menjadi sedikit lebih berarti. InsyaAllah. Hanya kepada Ilahi kita akan kembali.

SURABAYA,
Sabtu, 14 Februari 2015
Pkl 18.50 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply