Akun media sosial itu jika diatur untuk diakses publik bukan sekedar teman wabil khusus hanya untuk akun tertentu akan terdapat perbedaan. Jika diatur terbuka diakses oleh publik mestilah dipahami bahwa yang dinamakan publik itu beragam. Beragam di sini dalam artian bisa pengetahuan, tingkat bersekolahnya, lingkungan, ideologi, kepercayaan, keyakinan, agama dan semacamnya. Jadi saat diatur untuk teman tentunya teman kita juga variatif tipikalnya.

Karenanya saat posting sesuatu di ‘dinding’ kita sudah harus siap dikomentari apapun. Apalagi jika setiap komentar bisa masuk. Entah karena kita juga ‘gaptek’ mengenai teknologi media sosial maka sering kita marah pada komentar kawan atau ‘orang tak dikenal’ karena merasa komentarnya tak sesuai ekspektasi. Dus, pelajari lebih dalam dahulu media sosial kita agar tak keburu men-judge seseorang. Karena responsif bukan melulu milik FPI yang sering kita hujat itu tapi bisa kembali ke diri sendiri mengingat filosofi tunjuk jari. Itu lumrah loh karena manusiawi sekali.

Maka jika tak mau galau apalagi marah dengan komentar orang lain perhatikan baik-baik aplikasi fitur pada akun kita. Waspada pula pada pilihan diksinya karena daya tangkap dan pemahaman tiap akun lain yang berjejaring dengan kita tak sama. Bisa jadi kita tua secara umur zamani tapi masih tergolong ‘muda’ untuk urusan psikologisnya.

Jika kita suka memberikan penilaian kepada pihak lain maka berpikirlah mestinya kita juga siapkan diri untuk diperlakukan sama. Sesuatu yang tak kalah penting dari itu semua adalah bermedia (sosial) memiliki banyak konsekuensi logis sehingga jika “bermasalah” di media (sosial) tak perlu dibawa ke dunia nyata. Perbedaan sikap dan komentar yang ada seringkali membuat relasi dan interaksi kedua atau lebih pemilik akun terkoreksi di kehidupan nyata mereka. Mungkin ada yang beralasan, “Ya suka-suka saya dong mas Bustomi. Kan akun-akun saya.” Yah, kalau begitu bagaimana kalau logika yang sama dipakai pihak yang anda ‘tak terima’ itu. Apalagi jika dalam postingan anda seringkali berbicara soal demokrasi, egaliter dan segala tetek bengek yang melingkupinya.

Kadang dewasa di dunia nyata tidak lantas bisa dewasa juga di kehidupan media (sosial) dan begitu juga sebaliknya walau selalu terbuka alternatif lain. Mari bercermin pada diri sendiri seperti apakah kita? Selamat berkontemplasi dalam memaknai sisi berbeda dari literasi media (sosial).

SURABAYA,
11 Februari 2015
Pukul 21.32 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply