download

Banyak kawan yang berkecimpung lama di ‘komunitas’ ini. Mereka merasa ada kejumudan, ada eksklusivitas bahkan mengarah pada elitis-sentris dalam ‘komunitas’ ini. Kritik mereka lancarkan, bahkan seringkali sangat ekstrem dengan menyatakan keluar dari ‘komunitas’ seolah bangga karena telah ‘tercerahkan’ dan ‘terbebaskan’. Mereka lupa kemanapun mereka akan berlabuh kemudian atau komunitas baru akan mereka bentuk tetap akan yang tak sesuai dengan itu.

Mereka entah karena alasan apapun merasa bangga telah mampu menyampaikan kelemahan ‘komunitas’ ini dan mengirimkan kritik. Ada yang memilih menyeberang ke ‘komunitas’ lain seolah yang di seberang tanpa kelemahan dan permisif terhadap kritik.

Ada pula yang memilih membangun komunitas sendiri, merasa mampu bisa menjalankan ini dan itu nya yang pernah dilontarkan. Mereka lupa “komunitas” yang ditinggalkan atau dikritik hingga mengarah ke abusif itu adalah ‘komunitas’ lama dengan lika-liku perjalanan sangat dinamis dalam rentangan sejarah yang panjang. Artinya apa yang kita berikan sebenarnya hanya semacam ‘pengulangan’.

images

Apakah ini berarti kita tak boleh melakukan kritik terhadap “komunitas” lama kita? Tentu saja boleh. Tetapi lebih menantang dan akan jauh lebih mengurangi ‘kotak’ tatkala kita berani bertahan dan melakukan ‘perbaikan’ (jika itu diksi yang mau kita terjemahkan) dari dalam. Bukan kemudian keluar hanya karena alasan bosan, jumud dan sejenisnya.

Kawan jika kita menginginkan ide persatuan yang kita miliki diejawantahkan dengan baik dan mampu membuat komunitas yang ada bersatu, maka setidaknya jangan menambah komunitas baru karena itu sama saja kita menambah peluang kebersatuan menjadi lebih kecil karena ‘kotak’ kita tambah, alternatif makin banyak dan pada akhirnya memang paling mudah keluar dan membentuk yang baru. Tapi sejarah membuktikan yang baru karena ‘sakit hati’, karena alasan ‘bosan dan jumud’ tak mampu menandingi atau bahkan mengalahkan ‘komunitas induk’.

Apa tulisan ini mengajarkan pesimis? Yah kembali pada bagaimana sudut pandang kita melihatnya. Pesan singkatnya adalah, memilih keluar dari ‘komunitas’ pada akhirnya tak menyelesaikan masalah yang ada menambah masalah. Begitu.

#SekedarBerbagi #SalamAKUBISA

SURABAYA
29 Dzulhijah 1436 H/ 12 Oktober 2015

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

4 thoughts on “Seringkali Opsi “Keluar” Bukanlah Solusi”

Leave a Reply