Majalah ternama dunia TIME dalam edisi 27 Oktober 2014 silam menggambarkan presiden terpilih Jokowi sebagai harapan baru bagi Indonesia dan dunia. Tentunya ulasan tersebut merupakan apresiasi bagi kita sebagai sebuah negara berdaulat. Di tengah hiruk-pikuk dunia politik nasional yang didominasi berita ‘negatif’ terutama mengenai korupsi dan sejenisnya, edisi majalah ternama itu semacam oase di tengah panasnya padang pasir. Banyak kalangan mendukung Jokowi pada pesta demokrasi tahun lalu itu karena dinilai sebagai ‘ratu adil’ yang akan identik dengan harapan. Apalagi diperkuat dengan janji kampanye yang bisa jadi merupakan anomali dalam dunia politik tanah air seperti kabinet ramping dan profesional, koalisi tanpa syarat, penegakan HAM dan semangat anti KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).

JANJI POLITIK ATAU POLITIK JANJI

     Melalui kampanye yang masif terutama di media (sosial), Jokowi benar-benar digambarkan sebagai sosok sempurna tanpa cela. Janji-janji yang diberikan pada publik benar-benar membuai seolah politik adalah ranah hitam putih. Mindset demikian makin kuat tatkala pengumuman kabinet baru dimana warna putih menjadi simbol kuat. Ekspektasi publik kian membuncah hingga lupa bahwa politics is a grey area. Selalu ada yang tak tampak tapi sebenarnya ia bekerja. Kita dinampakkan realitas tapi tidak faktual. Seolah nyata tapi absurd. Strategi simulakra tampak tengah dioperasikan.

     Melalui serangkaian kebijakan yang lebih mengedepankan politik janji, perlahan tapi pasti banyak pendukung Jokowi yang gugur di tengah jalan. Sebut saja Frans Magnis Suseno yang saat kampanye begitu getol mendukung tetiba menarik dukungan dengan menulis surat terbuka. Menurut Frans Magnis, Jokowi hanya butuh waktu kurang dari dua bulan masa kerja untuk menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang politisi yang mengincar kekuasaan seperti yang lain. Surat tersebut adalah bentuk kritik keras atas sikap Jokowi terkait Peristiwa Paniai

     Menariknya, bahwa Jokowi sebagai politisi lebih mengedepankan politik janji dan bukannya janji politik makin kuat di tengah kisruh (kembali) dua lembaga penegak hukum, Polri dan KPK. Bermula dari diusulkannya Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Jokowi tetapi memiliki rapor merah menurut lembaga antirasuah, KPK. Kebijakan itu menjadi bola liar hingga saat ini ketika pidato resmi Jokowi sebagai presiden justru tidak menampakkan ketegasan terutama untuk menyelesaikan kisruh yang ada. Komitmen antikorupsi seolah sekedar janji dan ketegasan sosok yang dipersonifikasikan saat kampanye menjelma jualan semata.

ZAKEN KABINET ATAU KABINET SECOND

     Harapan publik yang besar kepada Jokowi adalah janjinya mengenai Zaken Kabinet. Sebuah kabinet yang terdiri dari kalangan ahli atau profesional. Dalam tulisan ini, saya tidak mempermasalahkan mengenai latar belakang pihak yang memegang posisi dalam kabinet melainkan pada profesionalitasnya. Hal itu bisa dinilai setidaknya pada 100 Hari pertama mereka bekerja.

     Publik mulai merasakan kejenuhan tatkala para menteri yang diharap mampu dan langsung bekerja justru lebih banyak menjadi selebriti media. Mulai dari seorang menteri yang menaiki pagar di tengah sorotan kamera tapi belum menampakkan gebrakan terutama mengenai nasib tenaga kerja kita. Ada pula menteri yang sesumbar siapapun yang melanggar hukum teritorial laut nasional, maka kapal akan ditenggelamkan. Lalu muncul di media penenggalaman perahu kecil milik nelayan yang setelah diusut ternyata rampasan pemerintahan lama. Tetiba publik terkesima. Menteri dimaksud lalu lalang di media (sosial) bak pahlawan baru. Anehnya, kapal besar yang “mencuri” berton-ton tangkapan laut justru diperlakukan sebaliknya. Muncul klarifikasi bahwa sang menteri tak pernah memerintahkan menenggelamkan kapal asing. Kita bak disuguhi cerita sinetron yang seringkali inkonsisten.

     Terbaru dalam kisruh Polri dan KPK, muncul seorang menteri yang justru menjuluki pendukung gerakan antikorupsi sebagai pihak yang tidak jelas. Bahkan muncul pernyataan seorang menteri kordinator yang dengan percaya diri menyatakan bahwa Jokowi masih petugas partai. Beliau mungkin lupa, tatkala Jokowi terpilih sebagai presiden maka otomatis menjadi milik seluruh rakyat Indonesia yang harus berjuang untuk kepentingan rakyat bukan partai atau golongan. Lebih unik lagi, seorang menteri yang diharapkan mampu melahirkan gebrakan dalam kementerian yang dipimpinnya justru membentuk direktorat baru dan menghabiskan dana senilai 400 miliar rupiah. Riuhnya media (sosial) justru menjadikan rencana pembentukan direktorat baru tersebut nyaris tanpa kritik publik.

SEMUA BELUM TERLAMBAT, HARAPAN ITU MASIH ADA

     Kita menginginkan harapan mayoritas publik Indonesia dan dunia terhadap Jokowi seperti tergambar pada cover majalah TIME 2014 silam bisa terwujud dan tidak sirna terutama di tengah makin pudarnya harapan dan kepercayaan mereka terhadap elit tanah air belakangan ini. Masih belum terlambat untuk bertindak. Jokowi bisa menjadikan momentum evaluasi 100 Hari pertama pemerintahannya untuk berbenah. Mengganti anggota kabinet yang dinilai tidak sejalan dengan visi-misi Jokowi adalah pilihan paling logis. Masih 3 bulan lebih berjalan. Belum terlambat. Dukungan publik walau menurun dibandingkan dengan 2014 lalu tetapi berdasarkan beragam survei di lapangan masih kuat. Bahkan untuk kisruh Polri dan KPK, Jokowi tak perlu segan membatalkan pelantikan calon Kapolri yang dinilai bermasalah. Tak perlu mendengarkan suara ‘bising’ para pembisik yang notabene memiliki kepentingan lain. Dengarkanlah suara rakyat yang mana oleh Jokowi sendiri saat kampanye disebut sebagai koalisi sesungguhnya. Yakinlah dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan (keluar). Semoga.

SURAMADU,
7 Februari 2015
Pkl 13.45 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

6 thoughts on “JOKOWI: A NEW HOPE(LESS)?”

Leave a Reply