Indonesia pasca reformasi dimana ditandai dengan dibukanya ‘kran kebebasan’ yang terkesan ‘kebablasan’ justru membuat potensi konflik yang selama Orde Baru bersifat laten berubah menjadi manifes. Paling menyita perhatian dan upaya kita bersama tentunya adalah GAM. Konflik berkepanjangan selama 29 tahun itupun bisa diselesaikan dengan terwujudnya Perjanjian Helsinki di Bumi Serambi Mekkah pada 15 Agustus 2005 di awal pemerintahan duet SBY-JK. Saat itu, JK yang dikenal sebagai ‘the real president’ benar-benar mampu memainkan perannya. Perjanjian Helsinki sendiri ditandatangani di Finlandia pada 17 Juli 2005. Sementara pada 15 Agustus 2005 sendiri penandatanganan dihadiri Menkum dan HAM sebagai wakil pemerintah, Hamid Awaluddin, pimpinan GAM, Malik Mahmud dan Martti Ahtisaari, Ketua Dewan Direktur ‘Crisis Management Initiative’.

Tetapi damainya tanah rencong bukan berarti selesainya potensi konflik lainnya. Menurut catatan Kemendagri, setidaknya ada 4 daerah di Indonesia yang menyimpan potensi konflik besar seperti Aceh yakni di Papua, Poso (Sulteng), Maluku dan Maluku Utara. Untuk itu, pemerintah menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang disertai Inpres Nomor 2 Tahun 2013 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan gangguan keamanan dalam negeri sebagai acuan untuk mencegah dan menangani konflik.

Poin penting dari aturan itu adalah PENCEGAHAN. Derivasi dari hal itu maka dibentuklah kurang lebih 34 Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dan Forum Kerukunan Umat (FKUB) di tingkat provinsi dan di level kabupaten/kota sebanyak 422 dan 428. Bahkan pemerintah juga membentuk Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) di 34 provinsi di Indonesia. Artinya upaya dini untuk mencegah sudah dilakukan pemerintah yang dilakukan sejak tahun 2006 sehingga aneh jika Ka BIN sekarang meminta dana triliunan rupiah untuk rekrutmen dan pembentukan intelijen daerah. Lalu untuk apa upaya sejak 2006 itu dilakukan kalau dianggap angin lalu, apalagi k(in)erja nya masih dipertanyakan karena ternyata banyak kasus konflik di daerah tetap terjadi bahkan bisa dikatakan kecolongan seperti di Sampang dan yang terbaru adalah kas Tolikara. Jangan-jangan tidak keliru jika publik menduga konflik sengaja dibiarkan atau bahkan diciptakan agar ada dalih kuat untuk mengucurkan dana.

Membaca bahwa perangkat pencegahan konflik sudah sedemikian lengkap sebenarnya memang publik tidak keliru jika mempertanyakan k(in)erja pemerintah akhir-akhir ini yang tidak mampu melakukan pencegahan dini konflik sosial seperti di Karubaga, Tolikara, Papua. Lebih miris lagi adalah, lebih terkenal bendera Israel daripada Merah Putih di wilayah kedaulatan hukum dan politik kita di sana. Peran aktif JK yang pada kasus Aceh sangat menonjol justru menjadi antiklimaks di era kedua beliau berduet dengan Jokowi. JK justru lebih banyak mejadi ‘trouble maker’ alih-alih menjadi ‘problem solver’ seperti saat berduet dengan SBY. Mulai dari kasus Toa Masjid, penggunaan bahasa Arab hingga terakhir soal kasus dwelling time dan program 35GW.

Minggu depan, potensi konflik menjadi krusial dikedepankan karena akan dilangsungkan perayaan agama (Islam) di salah satu daerah ujung timur Indonesia, Tolikara. Apakah pencegahan itu telah dilaksanakan, apakah Kominda beserta perangkat TNI, Polri serta aparat pemerintah setempat sudah menjamin keamanan dan kasus Idul Fitri Berdarah tak akan terulang? Jika kasus di Poso kemarin telah dilakukan penangkapan mengapa di Tolikara GIDI sebagai pemicu konflik tidak dibekukan organisasi kesekteannya dimana kaum Nasrani saja menganggap mereka ‘eksklusif ekstrem’ dan petingginya malah diundang ke istana? Mengapa untuk kasus Poso, petingginya tidak diajak makan siang juga agar berhenti berperangai buruk atau eksistensi mereka adalah sebuah kesengajaan agar bisa dipakai tatkala ada isu nasional besar menyerempet kaum elit lalu kaum alit dijadikan tumbal?

Maka, jika pemetaan potensi konflik laten sudah dilakukan pemerintah sejak 2006 dengan membentuk banyak forum, komunitas dan bahkan perangkat UU juga sudah ada, mengapa masih saja konflik berubah manifes dengan dampak negatif signifikan? Mengapa juga KaBIN baru justru meminta dana 3,6 Triliun rupiah untuk pencegahan? Permainan apa lagi ini? Apa jaminan pemerintah bahwa dengan dana sebesar itu 4 daerah potensi konflik akan damai seperti Aceh? Kemana aparat TNI,Polri, BIN dengan Kominda dan Forumnya itu tatkala kelompok OPM mengibarkan bendera bintang kejora sebagai bagian peringatan pemberontakan mereka di tanah berdaulat kita?

Betapa banyak perangkat aturan kita buat, forum kita bentuk dan komunitas kita inisiasi tentunya dengan dana tak sedikit, tetapi justru kita disuguhi konflik terus menerus dan tanpa solusi kongkrit aplikatif mampu mencegah sejak dini. Masihkah kita akan terus begini? Tidakkah kita berpikir apa sebenarnya akar dari konflik itu? Penanganan khas Jakarta Sentris ataukah di daerah sebenarnya hanya butuh ‘di-emong’ laksana anak nakal yang butuh perhatian sementara orang tua sibuk memperkaya diri dan berkutat dengan masalah mereka sendiri? Entahlah.

‪#‎SekedarBerbagi‬

MATARAM,
16 Agustus 2015
Pukul 19.18

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply