R.A Kartini dan suaminya. (Foto: istimewa)
R.A Kartini dan suaminya. (Foto: istimewa)

R.A Kartini itu “santriwati khusus” Kyai Soleh Darat dari Semarang. Keluarganya ya keluarga cerdas. Kartini ini dapat beasiswa ke Belanda tapi ditakutkan kalau sekolah ke Eropa akan melebihi kakaknya R. Sosrokartono yang menguasai 27 bahasa dunia (ada yang bilang 21).

Karenanya melalui kedekatannya dengan Ny. Abendanon dibujuklah agar Kartini tidak melanjutkan studi dan cukup di Jawa saja. Dari menggarap H. Agus Salim lah (kebetulan saat sarjana skripsi saya soal Haji Agus Salim. Doakan segera terbit jadi buku tersendiri) saya tahu beasiswa itu atas saran Kartini lebih baik diserahkan pada tokoh Minang berjuluk The Grand Old Man itu karena Agus Salim adalah juara di seluruh sekolah HBS (Hogere Burger School) se-Hindia Belanda saat itu. Tetapi karena beasiswanya “pemberian” bukan karena hasil kejuaraan itulah maka Agus Salim pun menolak pelimpahan tersebut.

Di Jawa, Kartini muda ini mulai menyuarakan pentingnya edukasi bagi perempuan Jawa agar tidak sekedar jadi pelengkap pria semata dimana ada adagium “surgo nunut, neroko katut”. Hasil mengaji kepada Kyai Soleh Darat itulah, Kartini paham bahwa perempuan adalah madrasah utama dan pertama bagi anak-anak mereka sehingga penting dibekali pendidikan agar kelak bisa menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anaknya.

Atas usaha Kartini tersebut (terlepas kontroversi yang ada) maka hari kelahiran Kartini pada 21 April diperingati sebagai hari dimana penyetaraan pendidikan antara lelaki dan perempuan bermula. Mengapa harus Kartini? Bukankah ada Laksamana Keumalahayati sebagai panglima perang angkatan laut pertama di dunia yang sampai membuat Ratu Elizabeth dari Inggris kala itu memperhitungkannya. Apa kelebihan Kartini dibandingkan misalnya panglima perang gerilya Aceh, Cut Nyak Dhien atau wartawati pertama di Indonesia asal Sumatera Barat, Rohana Kudus atau bahkan Christina Martha Tiahahu dari Maluku (pejuang muslimah yang memimpin perang melawan penjajah pula)?

Kawan-kawan, berbicara soal mengapa Kartini sebenarnya setidaknya ada dua penjelasan utama. Pertama, Kartini itu menuliskan ide-idenya (walau masih dalam bentuk surat) terkait perempuan dan kultur yang dirasa mengekang kebebasan perempuan saat itu. Tetapi jangan lupa, Kartini pernah menembus dua media ternama Belanda yang jika dibandingkan sekarang itu semisal kolom opini di koran-koran besar. Dari sini dunia mengenal ide dan pemikiran Kartini sebagai tokoh perempuan.

Bayangkan tulisan Kartini pernah masuk sebuah jurnal ilmiah ternama Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara) dengan judul artikel Het Huwelijk bij de Kodja’s (Perkawinan Itu di Kojayang menceritakan tentang upacara suku Koja (warga keturunan Arab) di Jepara.

Jauh dari itu, sebuah penerbit ternama dari Belanda (saya sampai sekarang belum menemukan namanya di berbagai referensi, jika ada yang punya mohon menanggapi di kolom komentar), yang meminta artikel Kartini lainnya untuk diterbitkan tetapi ditolak hatta dengan penulisan nama anonim sekalipun. Dalihnya demi keamanan mengingat Kartini dan keluarganya masih menjaga betul tradisi Jawa yang ketat soal “suara perempuan”. Bahkan majalah perempuan ternama De Echo di Jogja kerap memuat tulisan Kartini walau dengan nama samaran Tiga Serangkai (sampai sekarang nama ini jadi nama sebuah penerbit ternama tanah air).

Kedua, konteks sosio-kulturil dimana Kartini hidup saat itu begitu represif terhadap apa yang diperjuangkan Kartini. Jika dibandingkan dengan kultur Aceh misalnya maka disini kelebihan Kartini. Di Aceh perempuan menjadi Sultanah atau panglima perang (tentu secara sosial biasanya perempuan ini dari kalangan tengku) adalah hal lumrah. Maka konteks budaya inilah yang membuat Kartini layak mendapatkan kehormatan dimana setiap tahunnya kelahirannya menjadi momentum perenungan bagi perempuan Indonesia.

Nah, sekarang yang mesti dikritisi sebenarnya adalah di Hari Kartini ini apa yang mesti dilakukan perempuan? Yah sesuai dengan karakter dan semangat Kartini ya menulis bukan malah memakai kebaya dimana-mana baik di bank, kantor atau spbu. Peringatan Hari Kartini oleh banyak perempuan malah lebih banyak berkutat seremonial dan per-kebaya-an tetapi abai aspek literasi yang menjadi sarana perjuangan Kartini.

Karenanya, menurut hemat saya mneladani Kartini adalah bagaimana menyemai ide dan pemikiran serta aktif dalam upaya meningkatkan kemampuan dan pendidikan perempuan yang di banyak tempat masih kurang lebih sama seperti di era Kartini hidup.

Selamat memperingati Hari Kartini bagi perempuan di Indonesia dengan meneladani bagaimana sejarah menempatkan Kartini sebenarnya bukan sekedar ritual anual yang sekedar berbaju fisik Kartini. Semoga.

SURABAYA
21 April 2016
Pkl 23.57 wib

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply