Membaca tulisan saudara M Kamil Akhyari (Benarkah NU Moderat?, 04/11/2009) sungguh menarik. Sebagai sesama kader muda NU dan pula putra Madura yang terkenal dengan basis ke-NU-annya, saya merasa perlu untuk turut memberikan konstribusi terkait problematika yang diangkat. Sebelumnya, dalam konteks ini kita perlu membedakan antara dukungan nadhliyin dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang senantiasa menjadi “rujukan” bagi masyarakat, utamanya kalangan grass-root.

Sejauh pengetahuan penulis yang merupakan putra asli Bangkalan dan Pamekasan, permasalahan seputar jilbab merupakan “keluhan” orang tua yang merasa putra-putrinya mengalami degradasi moral terutama dalam hal berpakaian seiring derasnya arus informasi dan teknologi. Ini logis mengingat informasi memiliki efek yang dapat berkembang pesat. Dikarenakan informasi merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas manusia di mana kepribadian dan keberadaan kelompok dapat terbentuk. Mereka kemudian ”mengadu” kepada kiai yang notabene merupakan tokoh NU. Keluhan itu pun kemudian tentunya dirembug dan mencoba untuk disikapi. Jika demikian apakah NU tidak lagi jadi pengayom bagi yang ”tertindas”?

Bahkan di Bangkalan, penulis mengetahui sendiri, NU sebagai sebuah lembaga hanya mengeluarkan surat edaran berupa himbauan untuk memakai baju lengan dan celana panjang bagi putra dan berjilbab bagi putri, sedangkan perda (bukan raperda seperti yang diungkap saudara M Kamil Akhyari) belum ada. Bahkan himbauan ini seringkali disampaikan ulang oleh para kiai kampung lewat pengajian yang rutin dilakukan dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat terutama orang tua.

Lain Bangkalan, lain pula Pamekasan. Jika kemudian lahirnya Surat Edaran Bupati Nomor 450 Tahun 2002 tentang wajib jilbab bagi siswi dan karyawan pemerintah tidak lantas harus dibaca sebagai bentuk penindasan. Selama menempuh pendidikan menengah di kota Batik ini, penulis tahu dengan jelas bahwa peraturan itu hanya diperuntukkan bagi yang beragama Islam dan tidak berlaku bagi non-muslim. Selain itu, tidak ada bentuk ”perlawanan” dari masyarakat atau dengan kata lain ada persetujuan. Jika ini direspon positif maka akan sesuai dengan makna demokrasi menurut Abraham Lincoln (mantan presiden Amerika Serikat), demokrasi sejatinya adalah from people, by people and to people.

Lebih dari itu, wajib jilbab di Pamekasan hanya berlaku di jam sekolah dan kerja, sedangkan di luar jam tersebut peraturannya tidak berlaku. Artinya, NU melalui para tokohnya yang notabene merupakan ”tempat curhat” menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah dan tidak lantas harus dibaca sebagai desakan atau paksaan. Bukankah menurut teori sederhana decision making process ala David Easton dan Gabriel A. Almond dalam ranah politik, sebelum keputusan dibuat input kebijakan mengakomodir masukan dari masyarakat yang tentunya bisa melalui non-governmental organizations yang dalam hal ini diwakili oleh NU.

Lalu dimana relevansi ”tuduhan” bahwa NU tidak memihak rakyat? Dimana pula justifikasi bahwasanya NU telah kehilangan sayap ke-Pancasila-annya. Secara organisatoris maupun individu di dalamnya, NU tidak pernah memaksakan karena yang terjadi hanya bentuk penyampaian ”keluhan” masyarakat sebagai ”amanah” khittah. Selain itu, permasalahan jilbab ataupun prostitusi tidak lantas harus kita baca sebagai perda syariah. Dimana letaknya? Bukankah peraturan tidak lahir dalam ruang hampa. Dia merupakan respon pihak legislatif terhadap suara masyarakat juga.

Bahkan jika harus dibaca dengan jeli maka akan didapati suatu kontradiksi dari tulisan saudara M Kamil Akhyari, dimana secara eksplisit beliau menulis NU harus menyelaraskan setiap detak jantung langkahnya dengan rel Islam, Al-Quran dan Hadist melalui pengejawantahan nilai-nilai ke-NU-an yaitu ta’adul (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (keadilan) dan tawasut (moderat). Bukankah itu telah dilakukan NU? Perwujudan NU sebagai ”lembaga penampung aspirasi” rakyat tak resmi yang kemudian menghasilkan suatu peraturan (saya kurang setuju dengan sebutan perda syariah karena jauh sekali substansinya) yang tidak diskriminatif dan terbukti di lapangan. Untuk memperkuat argumen ini bisa kita lihat bagaimana ”kesepakatan” NU dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasarnya Pancasila sebagai sesuatu yang final. Ini dibuktikan dengan penolakan konsep khilafah dan gerakan terorisme sebagai ekses dari transnational movement secara tegas.

Dari kesemuanya itu, NU hingga detik ini dalam pandangan penulis tetaplah moderat sehingga menjelang Muktamar ke 32 mendatang di Makasar yang perlu dibenahi oleh lembaga ini menurut hemat penulis lebih pada bagaimana pemberdayaan sumber daya manusia NU secara lebih masif dan sporadis sesuai koridor ahlu as-sunnah wa al- jamaah tapi adaptif dengan perkembangan zaman sebagai amanah khittah. Ini akan berakibat space kaum nadhliyin untuk berkontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara tetap terbuka bahkan bertambah. Semoga!

(Tulisan ini dimuat di KOMPAS JATIM edisi Jumat, 13 November 2009)

Busthomi

Pengurus PC IPNU Pamekasan 2004-2006

Staf Pengajar Ponpes Raudlatul Khaziny Bangkalan

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply