SURABAYA – “Tidak semua orang orang harus menjadi pahlawan. Cukuplah, saya yang berdiri di pinggir jalan dan bertepuk tangan pada sang pahlawan, maka saya bisa merasakan keberhasilannya,” ujar Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf, MA yang mengutip pengakuan Tenzing Norgay, seorang Sherpa di Himalaya.

Tenzing Norgay sendiri adalah pengangkut barang yang memandu Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru saat mendaki Mount Everest atau Gunung Everest yang merupakan gunung tertinggi di dunia yang letaknya ada di perbatasan Nepal dan Tibet, Cina.

Di hadapan para ‘serdadu sepuh’ yang masih penuh semangat itu, Asops Kasdam IX/Udayana 2013—2014 ini mengisahkan Tenzing Norgay yang memberikan kesempatan kepada Edmund Hillary untuk menjejakkan kaki pertama kali di puncak Gunung Everest pada 29 mei 1953. Padahal, ia punya kesempatan menjadi orang yang pertama untuk itu. Inilah yang dinilai oleh Mayjen Farid Makruf sebagai sikap seorang pahlawan.

Begitulah jenderal bintang dua tersebut menilai para veteran dan warakawuri yang hadir di Balai Kartika Kodam V/Brawijaya, Senin (10/4/2023). Baginya para ‘serdadu sepuh’ ini adalah pejuang sebenarnya. Sementara, mereka yang saat ini tengah aktif berdinas adalah pewarisnya.

“Bapak dan ibu sekalian adalah orang tua kami. Orang tua yang dulu membesarkan kami, TNI. Dan kami yang sekarang mendapatkan kesempatan memimpin cikal bakalnya adalah bapak ibu sekalian,” ungkap Danrem 132/Tadulako 2020-2021 tersebut.

Mayjen Farid Makruf menyatakan bahwa dirinya menghayati dan terharu saat mendengar Hymne Veteran. Ia mengingat bagaimana para veteran meneteskan peluh dan darah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Saat ini, ada di antara para veteran menjadi menjadi pejabat, menjadi pengusaha, tapi ada yang belum beranjak ke mana-mana sejak masa perjuangan itu. Namun, para veteran tetap memerima nasib dengan lapang dada, tenang, penuh hikmat, dan istiqamah.

Menurutnya, ini adalah sesuatu yang patut diteladani. Sebab memang tidak semua harus menjadi pahlawan, cukuplah berdiri di tepi jalan dan bertepuk tangan untuk sang pahlawan. Lalu ia telah merasa dirinya sebagai bagian dari keberhasilan sang pahlawan.

“Ini adalah kisah nyata tentang Edmund Hillary dari Selandia Baru. Ia didapuk sebagai orang pertama yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest atau Sagarmatha di Himalaya. Namun di balik kisah sukses luar biasanya itu ada cerita tentang seseorang yang tidak kalah menariknya. Orang itu adalah Tenzing Norgay,” tutur Pangdam V/Brawijaya.

Pada 29 mei 1953, Tenzing bersama Hillary berhasil menaklukan Gunung Everest pada ketinggian 29.028 kaki di atas permukaan laut dan menjadi orang pertama di dunia yang mencapai puncak gunung yang dinamai Sagarmatha oleh warga yang bermukim di lereng-lereng pegunungan Himalaya.

Keberhasilan Hillary tentu sangat fenomenal, mengingat Perang dunia II baru saja mereda. Karena keberhasilannya itu, ia mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang terkenal di seluruh dunia.

Tapi, mengapa Tenzing Norgay tak ikut menjadi terkenal dan mendapatkan juga semua kehormatan yang didapatkan oleh Hillary? Padahal ia adalah pemandu yang menentukan keberhasilan Sir Edmund Hillary mencapai Puncak Everest. Seharusnya, bila dia mau, dia bisa saja menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di Puncak Everest dan bukan Hillary.

Setelah Hillary bersama Norgay kembali dari puncak Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Hillary dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Norgay. Ia ditanya bagaimana perasaannya setelah berhasil menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia itu? Ia menjawab singkat: “Saya senang sekali.”

Reporter itu mengejarnya, “Anda seorang sherpa bagi Hillary? Tentu posisi anda berada di depannya, bukankah seharusnya anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Gunung Everest?”

Lalu Norgay menjawab “Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilahkan Hillary untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama yang berhasil menaklukan puncak gunung tertinggi di dunia ini.”

Reporter itu tak puas dan bertanya lagi, “Mengapa anda melakukan itu? Ia menjawab bahwa itu adalah impian Hillary, bukan impiannya. Ia bilang impiannya adalah berhasil membantu dan mengantar Hillary meraih impiannya. Norgay tak mau jadi pahlawan. Ia memberikannya pada Hillary. Ia merayakan pula keberhasilan Hillary dengan bertepuk tangan.

“Di sini, saya bertepuk tangan untuk bapak dan ibu sekalian. Bila bicara beratnya perjuangan dari 1945, 1966, 1968 hingga 1975, bapak dan ibu adalah orang yang paling berhak disebut menjadi pahlawan, tapi bukan itu sebutan yang dicari oleh bapak dan ibu sekalian. Saya salut dan bangga. Sebagai rasa bangga, kami mengundang bapak dan ibu sekalian, berkenalan dengan anak-anak bapak sekalian di Kodam V/Brawijaya,” sebut Farid Makruf.

Ia berharap setelah lebaran, ada waktu bagi mereka bertandang kembali. Ia ingin pada kesempatan itu, para veteran dapat bercerita bagaimana perjuangan mereka agar dapat menjadi pelajaran bagi penerusnya.

“Kami juga memohon maaf bila apa yang kami berikan mungkin tak seperti yang diharapkan, tapi yang ingin kami sampaikan bahwa anak-anak bapak dan ibu yang masih aktif menjadi tentara ingin terus bersilahturahmi dengan bapak ibu sekalian. Jadikanlah ini sebagai pengikat hati kita,” demikian Pangdam V/Brawijaya mengakhiri sambutannya menjelang waktu berbuka puasa. (***)

Reporter: Jafar G Bua

Editor: Bustomi

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply