ilustrasi sektor pertanian di perdesaan.

SURABAYA – Penduduk yang melakukan hijrah dari desa ke kota semakin banyak. Bahkan Suharso Monoarfa, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Menteri Bappenas  menyampaikan bahwa BPS telah memproyeksikan sebanyak 61,7% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Suharso menyebutkan bahwa angka yang diproyeksikan oleh BPS bisa menjadi lebih besar yakni sekitar 70%.

Namun menurut pakar sosiologi, Prof. Dr. Drs. Bagong Suyanto, M.Si., mengatakan bahwa bahwa fenomena tersebut merupakan fenomena urbanisasi karena menurutnya fenomena urbanisasi tidak hanya peristiwa hijrahnya penduduk desa ke kota.

“Sebuah wilayah yang berubah menjadi perkotaan juga bisa disebut dengan urbanisasi. Jadi bukan sekedar perpindahan dari desa ke kota tapi beberapa daerah-daerah akan berubah menjadi perkotaan,” katanya pada media ini, Senin (18/9/2023).

Menurut Bagong, tren perubahan wilayah ini bisa digambarkan sebagai tangga berundak dimana tangga yang paling tinggi adalah kota besar lalu dari desa ke kota kecil, kota menengah, lalu paling tinggi kota besar.

Bagong juga menjelaskan bahwa saat ini sudah ada indikasi mengenai penduduk yang menjadi warga global. Hal ini terjadi akibat teknologi yang mengalami perkembangan cepat.

“Saat ini dunia sudah tidak memiliki batasan ruang dan waktu, sehingga masyarakat bisa bekerja dan tinggal dimana saja. Sekarang sudah mulai ada orang-orang yang menjadi warga global,” paparnya.

Dampak yang terjadi dari hijrahnya penduduk desa ke kota akan menyebabkan daerah perdesaan kekurangan sumber daya. Salah satu sumber dayanya adalah ketersediaan bahan pangan seperti beras dimana tanda-tanda dari dampak tersebut sudah terlihat saat ini.

“Penduduk desa sekarang sudah banyak yang enggan bertani, banyak yang enggan tinggal di desa dan lahan pertanian semakin hilang berganti menjadi perumahan serta lahan bisnis,” jelasnya.

Dampak tersebut ternyata berimbas pada swasembada pangan yang mengalami penurunan. Hal ini telah dirasakan oleh masyarakat dibuktikan dengan semakin mahalnya harga beras.

“Isu harga beras sekarang semakin naik sehingga pemerintah terpaksa impor beras dari luar negeri. Ini menandakan bahwa swasembada pangan sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan,” ungkapnya.

Karena itu, Bagong mengatakan bahwa ada solusi yang bisa dilakukan untuk menghadapi dampak tersebut yaitu memperbaiki ekosistem sektor pertanian. Perbaikan ini memiliki tujuan untuk menjadikan sektor pertanian di desa tidak kalah menarik dibanding sektor di perkotaan.

“Harus ada perbaikan nilai tukar petani. Mau tidak mau harus ada penghargaan kepada mereka, sehingga keengganan masyarakat untuk bertani bisa dikurangi. Lalu pertanian memiliki daya tarik yang tak kalah dengan sektor di perkotaan,” pungkas Guru Besar Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut.

 

Reporter: Tim PKIP

Editor: Bustomi

Foto: Istimewa

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply