Sebuah Pengantar

     Banyak di antara kita yang mungkin belum mengerti apa itu ADK tapi bagi yang pernah mengenyam pendidikan tinggi apalagi aktif di kegiatan keagamaan pastinya sangat familiar dengan istilah ADK atau Aktivis Dakwah Kampus. Yah, ia adalah sebutan bagi kalangan mahasiswa muslim yang memilih jalan dakwah secara terang-terangan dan berjamaah. Wadahnya bisa berupa kelompok belajar atau bahkan organisasi resmi yang diakui pihak kampus. Kegiatan ini mulai booming sejak era 1980an dan bahkan jika ditelusuri jauh sebelum itu mengingat pada tahun 1947 sudah berdiri Himpunan Mahasiswa Islam. Tapi HMI jelas juga sebuah gerakan mahasiswa yang cakupannya lebih luas. Maka berbicara ADK adalah berbicara aktivitas yang bermula dari semangat mahasiswa kampus sekuler tetapi ingin bernuansa IAIN (sekarang kebanyakan sudah bertransformasi menjadi UIN). Ada keinginan untuk tetap ber-Islam secara kaffah (totalitas) walau mungkin tidak kuliah di kampus yang identik dengan religi.
Semula gerakan dakwah kampus ini lebih merupakan gerakan ‘underground’ dan fokus pada kegiatan keagamaan an sich. Ada konsep ‘qiyadah wal jundiyah’ dan umumnya dipelopori kalangan ikhwan (laki-laki) walau tentu tak sedikit kalangan akhwat (perempuan) yang ikut tapi masih sedikit. Berbicara mengenai konsep ‘qiyadah wal jundiyah’ ini maka berbicara terkait kepemimpinan khas dalam Islam. Qiyadah atau pemimpin biasanya adalah mereka yang memiliki pemahaman ke-Islam-an khususnya mengenai leadership dalam Islam yang mumpuni setidaknya jika dikomparasi dengan jundi(yang dipimpin)-nya. Maka dipakailah istilah murabbi’ (yang mengajarkan Islam agar lebih dekat dengan Rabb atau Tuhannya) dan istilah mutarabbi’ (yang diajak untuk bersama-sama belajar Islam dan lebih mendekat kepada Rabb-nya, biasanya pemahaman mengenai Islamnya dibawah murabbi’). Jika istilah murabbi’ dan mutarabbi’ dipakai pada kegiatan pembelajaran keagamaan dalam suatu halaqah (kelompok kecil sekitar 6-12 orang, membentuk lingkaran kecil mirip dengan ‘sorogan’ di pesantren salaf) maka istilah ‘qiyadah wal jundiyah’ dilekatkan pada ADK yang terjun dalam aspek keorganisasian. Secara spesifik mengenai leadership lah.

Bercermin pada Sejarah

     Berbicara mengenai ADK maka tak bisa dilepaskan dari konsep usrah (bahasa Arab untuk menyebut keluarga) yang secara istilah dimaknai sebagai kumpulan individu muslim (afradul muslim) dan memiliki 3 tahapan yang wajib dilalui guna mengukur tingkat intimasinya sebagai sebuah ‘keluarga’. Tahap pertama adalah ta’aruf (saling mengenal). Kedua, tahapan tafahhum (saling memahami satu sama lain) dan tahapan terakhir adalah takaful (saling menolong atau membantu layaknya keluarga pada umumnya). Bagi aktivis dakwah kampus yang telah sukses menjalani dan melewati tahapan demi tahapan tatkala terjun pada aspek keorganisasian khususnya organisasi dakwah kampus tidak akan mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep ‘qiyadah wal jundiyah’ apalagi jika masing-masing personel dalam organisasi dakwah tersebut mengikuti tahapan yang sama. Maka dari itu kita melihat sejarah dakwah kampus sejak eranya hingga beberapa waktu ke belakang mengalami kesuksesan terutama dalam menelurkan pemimpin-pemimpin berkarakter di hampir semua jenjang baik kampus maupun pasca kampus. Rata-rata mereka yang sukses adalah yang dulunya ‘hati’nya tertaut pada Rabb-nya sehingga pasca kampus suasana dan karakter tersebut telah terbentuk dengan baik.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa muncul fenomena baru di kalangan aktivis dakwah dimana baik sebagai murabbi’ maupun mutarabbi’ serta qiyadah dan jundi-nya semacam mengalami kemerosotan? Mengapa sekarang banyak organisasi dakwah kampus semacam mengalami stagnasi untuk tak mengatakannya mati suri? Mengapa sekarang menjadi tidak jelas mana qiyadah mana jundi? Ada apa gerangan?

Pembenaran?

      Baiklah saya mencoba mengurasi lebih detail dan mencoba mengurai beberapa argumen yang kerap muncul dan menjadi dalih mereka-mereka yang telah, masih atau akan bergabung dalam jaringan dakwah kampus.
Argumentasi pertama datang dari mereka yang telah melewati kehidupan dakwah kampus dan masih berinteraksi. Menurut mereka, ADK masa kini itu telah melupakan atau mungkin keliru dalam memahami konsep ‘qiyadah wal jundiyah’. Banyak dari mereka sekedar menjadikan materi ini dalam training awal menjadi hafalan untuk mengisi ‘post-test’ sehingha terkesan pintar betul. Padahal orang pintar adalah penghafal tapi jarang mengaplikasikan. Orang pintar ini seperti sosok mahasiswa asal Nigeria yang bersaing ketat dengan Phungsuk Wangdu alias Ranchodas dalam film “3 Idiots”. Nilainya bagus dan luar biasa tapi dia lupakan satu hal penting, pemahaman sekaligus pengaplikasian dalam hidup sehari-hari. Satu hal yang secara sadar telah dipahami oleh Ranchodas jauh sebelum dia masuk universitas yang dikenal sebagai MIT-nya India itu. Jika kta cek maka akan kita temui ragam ADK yang masuk kategori ini.
Argumentasi berikutnya adalah dari mereka yang masih aktif sebagai ADK. Mayoritas dari mereka (untuk menghindari pola generalisasi karena saya percaya adanya devian) semacam mengalami kejenuhan dalam melakukan kreasi atau bahkan inovasi dakwah. Mereka ini memang yang tengah berjubel di lapangan dan terkadang merasa ‘paling’ dari lainnya baik eksternal maupun internal. Kadang diskusi dengan senior yang berada pada kehidupan pasca kampus dilakukan hanya di awal kepengurusan atau bisa jadi enggan berdiskusi dengan beberapa pihak hanya karena ada ‘selentingan’ masuk sehingga mengurungkan diri. Mereka ini hendak membentuk citra baru ADK yang berbeda. Lain daripada yang lain bahkan dari sebelumnya. Mencoba beragam cara tapi kerap lupa istiqomah sebagai kunci utama keberhasilan. Mereka seolah lupa bahwa tidak ada perbedaan bagi aktivis dakwah (kampus) bahwa rahasia menjadi ADK karena melaksanakan perintahNya sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nahl ayat 125. Alasannya karena itulah perintah Tuhan. Bahkan di sini juga karena niatan (kadang diejawantahkan dalam program) membuat citra baru dakwah kampus yang seolah berbeda mereka tidak lagi ajeg akan konsepsi usrah tadi. Qiyadah menginginkan begini, jundi inginnya begitu. Bahkan syuro’ kerap minim peserta dengan dalih kesibukan kuliah atau amanah lain. Dus, yang terjadi bukan proses tabayyun atau klarifikasi malah justifikasi. Masing-masing mempersepsi ini itu dan itu menjadi pedoman. Akhirnya saling ‘mengeluhkan’ diri satu sama lain dan itu biasanya curhat. Ironisnya curhatnya di media sosial dan seolah melupakan konsep usrah tadi. Inilah mengapa saya katakan konsep usrah saat ini melumer dan berdampak tidak komprehensifnya masing-masing personel memahami diri mereka dan ketidaktepatan untuk tak mengatakannya sebagai kesalahan, dalam mengekspresikan problematika dakwah yang dihadapi. Mereka ini kadang juga karena ketidakutuhan memahami konsep usrah masih bisa menerima ‘selentingan’ bahwa aktivitas dakwah ini hanya milik sekelompok dan tertutup atas kelompok lain. Ini terjadi pada mereka yanh aktif tidak hanya di organisasi dakwah. Alih-alih ia bisa mewarnai ‘tempat lain’ tersebut yang terjadi malah sebaliknya. Sesuatu yang mestinya tidak perlu terjadi jika sedari awal yang terjadi adalah pemahaman bukan sekedar ‘tahu’.
Argumen tak kalah penting datang dari mereka yang hendak bergabung tapi masih enggan atau mereka yang berada di luar garis aktivis dakwah kampus. Mereka menilai ada eksklusivitas mereka yang mengklaim dirinya sebagai ADK mulai dari perbedaan penampilan, adanya percakapan yang berbeda sehingga merasa tidak dihormati, belum siap menjadi orang alim sampai pada stigma bahwa para ADK itu underbouw sebuah gerakan sosial politik. Banyak ragam dari mereka ini tapi rata-rata demikian.

Keluarlah Dari Comfort Zone

     Saya melihat ada kesenjangan antara persepsi mereka yang aktif, telah dan akan aktif sebagai ADK. Masing-masing terkungkung pada kotak yang dipilihnya. Kerap enggan keluar kotak lalu mendiskusikannya. Ada yang melakukan tapi itu personal bukan jama’i. Kemajuan teknologi tak jua mampu diadaptasi secara presisi. Semua masih terkungkung dalam masing-masing stigmasisasi. Ada baiknya diskusikan mulai pihak antar internal ataupun internal-eksternal. Tanpa perlu merasa harus mendatangkan siapa. Mengapa demikian? Mestinyalah para pelaku, para aktor an sich itu yang berdiskusi lalu membuat ‘rule of the game’ sendiri yang disepakati bersama. Itulah awal mula kita belajar untuk menerapkan buku yang kerap wajib dibaca dan diresensi oleh ADK tingkat mahir, buku ‘Rekayasa Sosial’ karya luar biasa tokoh Syiah Indonesia ternama, Jalaluddin Rahmat.
Belajarlah terbuka dan beranilah membuka diri. Bukan menutupi bahwa anda memilih jalan dakwah di kampus. Apapun citra yang hendak anda bentuk, apapun program yang hendak anda telurkan dan apapun visi misi jangka pendek (masa kuliah yang kurang lebih 4 tahun). Pahami bahwa menjadi ADK adalah persoalan menjalani konsep usrah. Sadarilah usrah tak akan terwujud dengan baik jika hanya berhenti pada tahapan saling mengenal (ta’aruf) tapi enggan melanjutkan pada level saling memahami (tafahhum) apalagi meningkat pada tingkatan saling membantu dan menolong layaknya keluarga sendiri (takaful). Jika masih ada perasaan saling curiga di antara personel dakwah itu artinya konsep usrah belum dipahami hanya diketahui. Itu artinya konsep qiyadah wal jundiyah sekedar menjadi pengetahuan bukan pemahaman. Itu artinya akam berdampak pada interakasi antara anda sebagai internal dengan mereka yanh anda sebut sebagai eksternal.

Kembali Ke Khittah

Wahai aktivis dakwah kampus, kembalilah pada fitrah kalian. Kembalilah pada konsesi dan konsepsi kalian sendiri. Kreasi dan inobasi tidak lantas membuat kalian tercerabut dari akar. Jika ada dinamika fenomena bukan lantas menjadikan anda terberai karena tak pernah ada jalan dakwah yang mulus. Tiada pernah ada lembaran sejarah mengatakan jika terjun ke medan dakwah itu enak. Tapi yakin dan percayalah bahwa jalan dakwah jika karena menuruti perintahNya, akan berbuah ridhoNya apapun penilaiam manusia. Saat engkau malu dan enggan memakai pakaian yang kesan Islam-inya kuat, saat engkau ketakutan musuh dakwah melabrak, saat engkau menggigil tatkala citramu sebagai anak gaul menghilang hanya karena kamu aktif dan berpenampilan Islam-i, saat engkau tak berani lantang di ruang kuliah berdiskusi hebat dengan dosenmu yang menentang dakwah, maka bertanyalah pada dirimu sendiri, sebenarnya kamu aktivis dakwah kampus atau bukan. Berkontemplasilah. Merenunglah. Lakukan itu di sepertiga malam akhir, khususnya yang menjadi pemimpin karena kata Tuhan itu jadi syarat dirimu dipatuhi dan ditaati. Lakukan itu saat Subuh berjamaah, karena rusaknya organisasi dakwah biasanya tatkala mayoritas penggeraknya mulai sholat subuh di rumah, kos atau kontrakan dan dianggapnya masjid pula bukan di tempat yang memang telah ditetapkan sebagai masjid.
Kepada para akhwatnya coba bercermin diri lebih banyak mana antara kau bentangkan wajahmu padaNya daripada wajahmu di media sosial walau kau berdalih itu dengan mahram (sesama akhwat) apalagi dengan pose manyun dan sejenisnya. Dengan dalih apapun itu tidak dibenarkan. Wahai aktivis dakwah kembalilah pada khittahmu. Itupun jika engkau percaya dan yakin. Jika tidak, entahlah. Engkau bebas menafsiri. Ijinkan saya meminta maaf atas tulisan ini jika menyakiti. Semoga niatan asli hanya Allah dan diri yang pahami. Selamat berdakwah dengan konsepmu wahai ADK, karena tak ada beda antara dulu dan kini. Entahlah.

Padang Kontemplasi
11 September 2014 pukul 20.00 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply