Memperbincangkan gerakan mahasiswa seolah membuka lembaran sejarah sepanjang perjalanan bangsa. Hal ini tak luput dari peran mahasiswa mulai pra pembentukan Indonesia sebagai -meminjam istilah Benedict Anderson (1983)- imagined community hingga era kekinian. Jika kita telisik lebih jauh maka dalam perjalanannya, bangsa ini mengalami pencerahan setelah adanya upaya “meretas” kesadaran dari kalangan mahasiswa di era kolonial. Sebut saja Soekarno, Moh. Hatta, Tjokroaminoto, dan hingga M. Natsir.

     Berdasarkan perjalanan sejarahnya, gelombang gerakan mahasiswa berhubungan erat dengan konteks sosial dan dinamika masyarakat di sekitarnya sehingga sangat strategis posisinya. Berangkat dari anggapan demikian, maka gerakan mahasiswa senantiasa memiliki porsi signifikan dalam mewarnai perjalanan bangsa. Negara merupakan entitas politik yang diamanahi oleh para founding fathers melalui konstitusi untuk memberikan kesejahteraan yang berkeadilan, maka gerakan mahasiswa berada di avant garde dalam berkomitmen untuk selalu konsisten dalam mengawal upaya realisasi narasi agung tersebut. Apabila para penyelenggara praktek bernegara dan berbangsa di negeri zamrud khatulistiwa ini bergeser atau menyimpang dari amanah konstitusi, maka gerakan mahasiswa akan tampil ke muka untuk menjadi corong masyarakat guna memberikan “peringatan” kepada pemerintah. Konsistensi akan komitmen tersebut bahkan jauh terlihat sebelum negeri ini “terbentuk”. Kesadaran akan realita kolonialisme justru di’beri”kan oleh para pemuda bangsa yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi saat itu.

     Tiap individu mengalami proses kontemplasi panjang yang masif nan sporadis dan pada akhirnya memunculkan kesadaran kolektif untuk terintegrasi, dimana secara modern dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo yang dirintis mahasiswa STOVIA saat itu. Berlanjut munculnya gerakan “DPR Jalanan’ pada 1966 yang kemudian melahirkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang ‘sukses’ mengubah konstelasi perpolitikan nasional. Gerakan reformasi yang berusia satu dasawarsa lebih mungkin masih ‘segar’ dalam benak aktivis gerakan. Kontinuitas ini menunjukkan mahasiswa masih bergerak sesuai khittah-nya.

Menara Air versus Menara Gading

    Pasca tuntutan reformasi ‘tercapai’, bagaimanakah kabar gerakan mahasiswa? Apakah konsistensi untuk senantiasa menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ masih terjaga? Jawabannya cukup memprihatinkan. Gerakan mahasiswa sekarang justru dinina-bobokan oleh “NKK/BKK” versi reformasi: pragmatisme dan konsumerisme. Mereka mulai kehilangan kepekaan sosialnya. Spirit perjuangannya mulai memudar. Bahkan yang lebih parah, tak ada lagi gaung akan adanya pemikiran besar maupun karya besar. Ironisnya, gerakan mahasiswa dalam era kekinian justru terjebak pada dua arus besar yang tengah menggurita, menara air dan menara gading.

      Menara air dalam konteks ini adalah banyak perjuangan (gerakan) mahasiswa yang tidak lagi bersifat genuine. Yang terjun ke dunia aktivis, seolah berkenan ‘diintervensi’ oleh berbagai interest group sehingga perjuangan yang dilakukan tak lagi berpijak pada landasan yang kokoh dan tulus, atas nama rakyat. Akibatnya, gerakan mahasiswa yang semula dikenal sebagai satu-satunya gerakan yang ‘netral’ menjadi bias dalam beropini, bersikap dan berbuat. Rakyat kemudian sekedar menjadi pembungkus luar atas tujuan yang kini tendensius atas nama kepentingan kelompok tertentu. Indikasi kuat ini terlihat dari beberapa pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa yang disinyalir (kuat) ditungganggi oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana tengah ramai di media beberapa waktu lalu. Sungguh amat disayangkan.

      Di sisi yang lain, masyarakat yang mulai jenuh dan jengah serta tak tahu menahu harus ‘curhat’ kepada siapa menjadi semakin tak tentu arah mengingat (gerakan) mahasiswa pun menjelma menjadi menara gading (kehidupan kampus). Gerakan mahasiswa menjadi semacam gerakan eksklusif yang tak mampu memberikan solusi atas problematika yang dihadapi masyarakat. Demonstrasi hanya sekedar sarana menunjukkan eksistensi bahwasanya (gerakan) mahasiswa tidak mati. Diskusi sekedar memenuhi hasrat curiosity dan ajang menunjukkan eksistensi dan kapasitas diri tetapi kemudian tak membumi baik di level individu, lebih-lebih ranah gerakan. (Gerakan) mahasiswa menjadi tak mampu disentuh oleh masyarakat.

     Bergeser sedikit ke ranah yang lebih khas mahasiswa yakni dunia akademis. Banyak dari mereka -para aktivis- yang kemudian terkenal sebagai pihak yang gagal di bidang akademis. Kemampuan mengungkapkan gagasan dan pemikiran besar melumpuh. Kekuatan orasi dan agitasi lebih mumpuni daripada skill menulis. Akibatnya, saat memiliki gagasan tetapi kemampuan menuangkan tumpul, ide menguap begitu saja. Penetrasi opini yang mencoba dibentuk menyempit. Tak mampu menjangkau kecuali kalangan sendiri. Ironis.

Asa Itu Masih Ada

     Kultur menara air versus menara gading dalam gerakan mahasiswa kekinian senantiasa berdialektika tetapi tanpa mampu menghasilkan ‘sintesa’ yang berarti. Apakah kita -gerakan mahasiswa- menyerah mengetahui realitas yang tengah terbentang di hadapan kita? Tentu tidak. Masih ada harapan. Masih ada (gerakan) mahasiswa yang sadar dan menyadari meskipun kuantitasnya tak banyak. Maka perlu digulirkan menurut gaya snowball. Dialektika yang ada haruslah diarahkan untuk semaksimal mungkin menghasilkan sintesa yang mampu beyond dari kultur menara air versus menara gading tersebut.

     Bagaimana langkah ke depan untuk mewujudkannya? Bercermin pada peristiwa Sumpah Pemuda yang mampu memberikan kontribusi ‘sakral’ dan ‘keramat’, maka belajar dari dan dengan sejarah mampu membuat kita bangkit dari ‘keterpurukan’ ini. Mengutip Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran, 1983), salah satu tokoh (gerakan) mahasiswa yang mana ia berkata “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few, yang dapat kuliah, dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan meyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas”. Asa itu masih ada kawan-kawan. Marilah kita tanamkan dalam benak dan jiwa bahwasanya kita mampu beyond dari dialektika menara air versus menara gading. Perubahan mindset. Kita mampu menjadi penyambung lidah rakyat dan berkontribusi nyata (positif) untuk kemajuan bangsa ke depan sebagaimana khittah. Semoga!

*Artikel ini bersifat personal opinion dan tidak memiliki kaitan dengan pihak lembaga dimana penulis beraktivitas. FB: Bustomi Menggugat. Twitter: @bushtommy. Contact: [email protected] (Tim Manajemen AKU BISA).

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply