Dakwah Bukan Jalan Mudah
Dakwah Bukan Jalan Mudah

Dalam membangun sebuah gerakan dakwah berbasis sosial dan kemudian ada transformasi ke ranah siyasi maka tentu memerlukan strategi mumpuni. Dalam upaya ke sana selalu ada ‘tingkat’ dalam pengkaderan dan itu absah karena dimanapun anda akan menemukannya.

Dalam proses ‘perubahan’ itu selalu ada sikap pro dan kontra dimana ia adalah sunnatullah. Sejarah membuktikan Muhammad SAW ditopang oleh mereka yang lolos uji kaderisasi. Gerakan jika tidak diperbincangkan dan sedikit (untuk tak mengatakannya tak ada) tentu tidak akan diperhitungkan. Dalam proses ini pula akan selalu ada kader yang ‘merasa’ paham tapi ternyata parsialistik adanya. Ada yang diam dan banyak berkarya tapi sesungguhnya ia memahami dinamika ‘konflik’.

Sebuah organisasi atau gerakan atau komunitas selalu memiliki tantangan. Awal berbeda dengan pertengahan dan proses apalagi jika tujuan masih panjang dan membutuhkan waktu tak sedikit untuk mewujudkannya. Konflik itu dibutuhkan agar perkumpulan memiliki dinamika. Tanpa dinamika maka ia seperti hidup segan mati tak hendak. Silakan cek organisasi atau perkumpulan yang demikian itu maka ia tak akan berumur panjang.

Uniknya banyak dari kader yang belum selesai ini merasa holistik membaca dan komprehensif memahami ternyata terkena ‘jebakan’ pembacaan sehingga proses tak selesai lalu futur jadinya. Positifnya jika ia ‘keluar’ dan diam atau bergerak dalam karya sesuai dengan yang diyakininya. Ternyata malah ironis lebih banyak berkutat di ranah diskursus lupa bahwa gerakan dakwah mesti mewujud dan tak hanya di aspek teks.

Netralitas teks tersublimasi tatkala dibenturkan dengan konteks dan mestilah dipahami demikian. Coba periksa teks-teks di masa lampau kadang yang dikritisi sudah dilakukan pendahulu dan selesai. Dakwah adalah soal karya karena pesan Muhammad SAW adalah khairunnas anfauhum linnas dan diperkuat dengan basis kefakiran lebih mendekatkan umat pada kekufuran. Mengentas umat dari taraf di bawah garis ke atas garis adalah sebuah keniscayaan dan itu pernah berhasil di era Umar bin Abdul Aziz.

Pernahkah kita sadari bahwa barisan dakwah Muhammad SAW itu tak hanya ditopang oleh ulama sekaliber Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit ataupun Muaz bin Jabbal (yang ini malah lebih menarik dibahas) melainkan ia juga diperkuat oleh pejuang tangguh seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash ataupun Sa’ad bin Abi Waqash. Ada pula pakar politik seperti Abu Bakar yang bijak, Umar yang keras, Usman yang lembut dan Ali yang cerdas. Jangan lupa pula bahwa ada agen spionase semisal Salman al-Farisi dan terakhir ekonom dan pengusaha handal seperti Abdurrahman bin Auf.

Coba perhatikan mereka menjadi manusia mercusuar di bagian masing-masing bukan bergerak mengerucut pada satu sektor. Maka marilah perbanyak introspeksi diri, merenung dan berpikir (terutama di sepertiga malam akhir) apakah yang sudah dilakukan untuk gerakan dakwah ini tanpa harus mengklaim dan menegaskan bahwa kita telah begini tetapi ditempatkan di posisi seperti itu. Kalau semua menjadi pemikir lalu siapa bagian pekerja, penopang, penakluk dan pengusaha serta lainnya. Jika semua jadi kritikus dan pengamat lalu siapa yang akan menjadi aktor dan mengambil alih tongkat estafet dari aktor di lapangan.

Mungkin ada kader merasa ‘jemu’ dan bosan dengan keajegan sistem dan pola kajian sehinga lalai pada aspek hormat dan respek. Kritis silakan tapi ada waktu dan tempat. Itu juga sudah dicontohkan dalam lintasan sejarah dimana gerakan dakwah ini dibangun dan terus dibangun hingga kini. Perhatikan siapa yang bertahan dan dikenang sejarah dan siapa yang terlupakan sejarah dengan segala dinamikanya. Menarik dikaji tapi jangan terlalu lama di sana. Umat tengah bingung harus bagaimana. Mereka membutuhkan tokoh pendamping sesuai kapasitas dan kapabilitas kader. Memang tidak boleh semua pergi ‘berperang di medan laga’ tapi kenapa juga tak dibalik tentulah tak bisa semuanya menjadi pemikir, intelektual atau ulama.

Proporsional sikap adalah keniscayaan. Betapapun kader menginginkan perubahan lalu membuat komunitas di luar pokok akan selalu dialektis dimana saat ini berada pada titik antitesa dan di kemudian hari akan menjadi tesa dan terus demikian. Dinamika ini sudah digariskan tetapi bagi siapa bertahan ia akan mampu mencicipi nikmatnya perjuangan bukan melulu kekecewaan atau perasaan terpinggirkan. Pondasi utama (gerakan) dakwah adalah Lillahita’ala dan tujuan akhirnya adalah Mardhotillah. Ia berbeda dengan gerakan sosial atau siyasi lainnya. Maka mengkomparasikan secara ketat dan tidak luwes dengan selainnya jika tak hati-hati akan menjadi bumerang.

Terakhir tapi tidak kalah penting, hidup adalah soal memilih (aktif bukan pasif) dan setiap keputusan untuk memilih ‘ini’ atau ‘itu’ senantiasa memiliki konsekuensi logis. Ada poin utama yang tak dilupakan dari semua tindakan memilih itu yaitu babul niat yang selalu ada pada bagian pertama kitab para pendahulu mengingat urgensinya dan semua yang aktif tentunya hanya mengharapkan tujuan akhir berupa mardhotillah. Jika ada yang lain allahualam. Semua kembali pada diri masing-masing. InsyaAllah.

MATARAM (Madura Tanah Garam)
20 Januari 2015
Pkl 21.27 wib

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

2 thoughts on “Membaca (Kembali) Gerakan Dakwah Kita”
  1. Dakwah itu sejatinya merupakan kewajiban syar’ie. Itu artinya ia wajib dikerjakan oleh setiap orang muslim, laki-laki maupun perempuan. Dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakan berdosa. M. Natsir di dalam bukunya “Fiqhud Dakwah” membagi kewajiban itu dalam dua kategori. Fardhu ‘ain (fardhu atas setiap individu), yaitu berdasarkan hadits Rasulullah SAW “ballighu ‘anny walau ayah” dan fardhu kifayah (fardhu atas kelompok/ummat), berdasarkan surat Ali Imran: 104 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.

    Dengan begitu maka dakwah tidak bisa dilihat hanya dari sudut sosiologi semata tanpa melibatkan unsur syari’at tadi. Dan dengan begitu juga, masalah pengkaderan menjadi relatif. Maksud saya, berdasarkan hukumnya yang fardhu ‘ain, setiap individu muslim berkewajiban menyampaikan atau medakwahkan apapun yang dia tahu – betapapun sedikitnya yang dia tahu – kepada saudaranya yang belum tahu. Kalau dia tahunya hanya al-Fatihah, maka dia wajib mengajarkan al-Fatihah kepada orang lain. Kalau dia tahunya bahwa demo massa itu dibuat dalam perencanaan yang matang, maka iapun berkewajiban menyampaikan itu kepada orang lain, sebatas yang dia tahu. Jadi di dalam pengertian ini tidak ada batasan bahwa seseorang (kader) sudah siap menjalankan tugas dakwah atau belum.

    Lalu berdasarkan hukumnya yang Fardhu Kifayah, di sinilah baru adanya soal-soal organisasi dakwah yang profesional. Artinya organisasi yang secara profesional menjalankan tugas-tugas dakwah, sekaligus juga mengandaikan adanya petugas-petugas dakwah (da’i) yang bekerja secara profesional. Maka baru di sinilah unsur pengkaderan itu menjadi penting. Seorang da’i yang belum siap dengan ilmunya tentu tidak selayaknya ditugaskan untuk berdakwah. Karenanya diperlukan pengkaderan yang intensif. Tetapi dengan begitu apakah bekerja secara profesional dalam urusan dakwah itu sama artinya dengan mencari nafkah hidup dengan berdakwah? Inilah problem dakwah kita sekarang.

    Ketika masih kuliah di IAIA saya sangat berharap bapak M. Natsir dapat berbicara soal itu, karena saya yakin (ketika itu) bahwa hanya beliau sajalah yang dapat berbicara soal itu secara jujur tanpa dibebani pretensi duniawi yang berlebihan. Untuk itu saya susunlah panitia untuk menyelenggarakan seminar yang akan membahas masalah “Profesionalisme Dalam Dakwah”, yang direncanakan akan mengundang beliau dan beberapa tokoh lainnya sebagai pembanding. Tetapi apa mau dikata, ketika saya dan beberapa kawan datang ke kantor beliau untuk menyampaikan undangan tersebut, kami memperoleh kabar bahwa beliau sedang sakit dan sepertinya tidak mungkin lagi berbicara di depan publik karena sakitnya itu. Begitulah, sampai beliau wafat, niatan saya itu tidak dapat dilaksanakan. Kondisi tersebut membuat saya membuat saya merasa ditantang untuk menyusun kerangka berpikir saya sendiri dalam soal itu. Dengan segala keterbatasan saya, berikut ini saya bentangkan ala kadarnya jalan pikiran saya dalam soal profesionalisme dalam dakwah, sebagai berikut.

    Bertolak dari pemikiran bahwa dakwah merupakan kewajiban syar’ie, dalam dua kategori yang saya sebutkan di atas, maka pengertian profesionalisme dalam bidang dakwah tidaklah sama dengan profesionalisme dalam bidang kehidupan yang lainnya. Jika dalam profesionalisme dalam bidang lain, semisal dokter, pengacara, pedagang dan lain sebagainya, orang dapat menggantungkan hidup ekonominya dari profesinya tersebut, maka tidak begitulah halnya dengan profesionalisme dalam bidang dakwah. Di dalam profesionalisme bidang dakwah, tidaklah selayaknya – bahkan tidak boleh, menurut saya – orang menggantungkan hidup ekonominya dari profesi tersebut. Karena, jika orang boleh menggantungkan hidup ekonominya dari profesi dakwah, maka sedikit maupun banyak, misi dakwah akan ter-reduksi oleh kepentingan ekonomi tersebut. Di dalam jaman di mana persaingan hidup sedemikian ketatnya seperti sekarang ini (akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang tidak terkontrol), kepentingan ekonomi akan mengalahkan kepentingan yang dikandung oleh misi dakwah itu sendiri.

    Lalu bagaimana hidup ekonomi dari orang-orang yang berprofesi dalam bidang dakwah, mereka yang secara profesional menyediakan waktu dan pikirannya dalam urusan dakwah, tanpa punya kesempatan mengerjakan pekerjaan lain untuk memenuhi kehidupan ekonominya? Apakah mereka akan dibiarkan hidup dalam kemiskinan dan hanya diiming-imingi imbalan kalau kelak masuk sorga? Untuk sementara waktu (selama sistem kapitalisme masih meraja lela) bolehlah orang mendua, dengan membagi waktunya antara melaksanakan dakwah dengan berbagai konsekwensinya dan menjalani profesi lainnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup ekonominya. Tetapi ini tidak boleh berlangsung seterusnya, karena akan membuat tugas-tugas mencapai misi dakwah tidak dapat dilakukan secara maksimal. Untuk itu harus disusun suatu sistem yang komprehensif, yang akan membuat profesi sebagai pendakwah (da’i) dapat dijalani secara lebih sempurna.

    Salah satu yang saya usulkan untuk mengatasi problem itu adalah, membentuk lembaga “Baitul Mal” (balai harta) secara masif di dalam setiap komunitas Islam. Komunitas Islam ini dapat berpusat pada masjid-masjid, tetapi juga dapat berpusat pada organisasi-organisasi dakwah semacam NU, Muhammadiyah atau Persis. Unsur utama pembentukan Baitul Mal, menurut sejarahnya, adalah zakat dan infaq. Pada masa lalu memang ada unsur lain, seperti “ghanimah” (rampasan perang), tetapi unsur utamanya adalah tetap, zakat dan infaq tadi. Terutama zakat, yang secara manajemen dan akutansi dapat dihitung besarannya.

    Jika Baitul Mal ini dapat dibentuk secara masif pada pusat-pusat komunitas Islam, seperti saya sebutkan di atas, maka problem ekonomi para penyelenggara dan pelaksana dakwah, insyaAllah, akan dapat diatasi. Berdasarkan delapan asnaf para “mustahiq” (orang yang berhak) zakat, sebagaimana dimaksudkan surat at-Taubah: 60, maka hak penyelenggara maupun pelaksana dakwah merupakan bagian ke 7 dari delapan asnaf itu. Yaitu “fi sabilillah” (berjuang di jalan Allah). Disamping itu juga ada hak bagi penyelenggara Baitul Mal itu sendiri, yaitu asnaf ke 3, “amilin” (pengurus-pengurus zakat). Potensi ini cukup besar, kalau saja ia bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam bishshawab.

Leave a Reply