Topik ini mungkin menarik bagi sebagian dan tidak untuk sebagian lainnya. Saya mencoba menuliskannya dalam konteks sebagai muslim. Silakan dielaborasi ke konteks lain jika menginginkan. Pun juga tak bermaksud menggurui terutama bagi pihak lain yang memiliki keilmuan lebih dari diri pribadi.

Sejak kehadiran media sosial, interaksi interpersonal menjadi lebih ramai untuk tak mengatakannya riuh. Apalagi sistem media sosial yang memungkinkan seseorang ‘menutupi’ jati dirinya tapi tetap bisa ‘bersosialisasi’ dengan target massa lebih besar dan komunikasi ‘real time’ daripada misal memakai metode menulis surat kaleng atau selebaran yang disebar acak di beragama lokasi yang menjadi sasaran. Kehadiran media sosial adalah ekses dari munculnya era informasi dan teknologi. Era ini ditandai dengan bermunculannya aneka situs atau fitur yang memudahkan seseorang mendapatkan ribuan hingga jutaan informasi yang diinginkan dalam waktu yang relatif singkat.

Katakanlah Google yang menjadi semacam mesin pencari informasi ‘maha dahsyat’ yang bisa jadi telah bertransformasi menjadi ‘tuhan’ kedua di dunia mengingat ia langsung ‘mengabulkan’ permintaan ‘hamba’nya. Ke(ny)amanan akses informasi atau “ilmu” ini membuat tetiba orang-orang dengan semangat beragama tinggi tapi minim keilmuan (dasar) agama beramai-ramai menjadi ‘pendakwah’ dadakan. Tidak keliru dengan semangat ingin berdakwah itu. Karena baik dalil Al-Quran maupun hadist shahih, dakwah itu wajib hukumnya bagi muslim(ah). Apalagi ada satu patokan dari sabda terkenal Sang Kekasih mengenai urgensinya menyampaikan pesan beliau walau hanya satu sekalipun. Pesan keren itu dipadu dengan niat dan semangat tinggi menemukan relevansinya dengan munculnya media sosial yang menjadi tren manusia masa kini. Google menjadi Kitabul Jare dan pedoman penting sebagai dasar argumentasi. Alih-alih kemunculan media sosial dan panduan tuhan Google menjadi sarana efektif berdakwah, ketidakmampuan ‘pendakwah’ memahami target dan kualitas bahasa membuat niat dan semangat menimbulkan masalah yang terkadang jauh lebih besar.

Pemukulrataan terhadap target dakwah dengan tanpa memilah pilihan diksi dalam menyusun kalimat-kalimat dakwah membuat target bukannya tertarik malah berbalik arah memusuhi. Memang ada adagium abadi bahwa jalan dakwah terjal dan tak mudah. Bahkan sejarah mengajarkan pada kita mengenai kumpulan pendakwah sejati ditolak dan bahkan dimusuhi hingga hendak dibunuh. Tapi membaca sejarah juga tidak bisa parsial. Mestilah holistik agar pemahaman kita komprehensif atasnya. Cobalah lihat secara keseluruhan bagaimana metode dakwah para ‘pendakwah sejati’ itu dalam menghadapi target dakwah. Beragam sesuai tingkatan pengetahuan, daya tangkap dan pemahaman target dakwah.

PAHAMI SIAPA TARGET DAKWAH

Memang zaman para pendakwah dengan kita berbeda. Maka metodenya berbeda tapi ‘inti’nya akan selalu sama. Pemahaman utuh akan siapa target dakwah menjadi keniscayaan agar sifat agama sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semua, baik manusia maupun hewan dan alam semesta) mewujud nyata dan tak berhenti di kejayaan sejarah semata. Menerjuni medan dakwah apalagi di ‘dunia maya’ membutuhkan kemahiran lebih dibandingkan dengan berdakwah pada ‘segmented audience(s)’. Misal kita ditakdirkan berdakwah di lingkungan ormas yang kental ‘adaptasi’nya dengan kultur masyarakat dimana mereka hidup akan berbeda dengan jika yang dihadapi misal adalah kelompok ‘intelektual’ di kampus. Contoh sederhananya menjadi khatib di masjid kampung harus dibedakan dengan masjid kampus walau topik bahasan sama.

Kembali pada topik utama kita mengenai dakwah di media sosial, maka misal di Facebook kita berteman dengan siapa saja (latar, jumlah dan kecenderungan) penting diketahui terlebih dahulu. Bagi yang anti dengan produk-produk Yahudi atau produk kaum kuffar maka dengan sendiri Facebook menjadi ‘keanehan’ tersendiri. Ini belum lagi mengenai siapa yang bisa mengakses akun kita (pernah saya bahas sekilas di postingan berjudul “Postingan-mu Harimau-mu” dan “Literasi Media: Sebuah Sudut Pandang) maka kewajiban kita menyesuaikan dengan mereka.

Tipsnya perhatikan dalam memilah dan memilih kata (konteks diksi) dalam rangkaian kalimat yang kita susun. Secara tata bahasa Arab misalnya istilah kafir memang artinya tidak “semenakutkan” makna yang ditimbulkan dalam kaitannya sebagai kata serapan dalam Bahasa Indonesia. Menyalahkan istilah Amin dan Aamiin yang secara konsep transliterasi ketatabahasaan baku berbeda tapi jika menulis di media sosial dengan kalimat “woi kalau gak paham jangan ngasal kalau komen. Lawong tulisan yang benar aamiin bukan amin, mekso.” Coba pikirkan. Pernahkah kita bertanya apa maksud ‘amin’ menurut penulisnya itu? Sama tidak maksudnya dengan “aamiin” dalam maksud kita? Pakailah ‘aksentuasi’ yang lembut dan tidak menyakiti dengan indikator pilihan diksi kita. Menulis kalimat dengan memperhatikan diksi agar seminimal mungkin bisa dipahami secara umum dan tidak menyakiti saja masih berpotensi keliru dipahami pihak lain apalagi jika perhatian atas hal dimaksud tidak ada. Potensinya tentu jauh lebih besar.

ITTIBA’

Saya selalu dipesankan oleh kiai atau ustadz yang mana diri ini ‘ngangsu kawruh’ pada beliau untuk selalu melakukan dua hal dalam berdakwah. Niat karena Tuhan Yang Maha Esa dan mencontoh (ittiba’) pada metode/cara baginda Muhammad SAW dalam berdakwah. Tentu dalam perjalanan usia yang baru menginjak 27 tahun, pengetahuan saya mengenai metode Kanjeng Nabi Muhammad masih sedikit sekali. Tetapi melalui guru-guru selalu berusaha memperbaiki. Menurut keterangan beliau jika boleh dilakukan simplifikasi (penyederhanaan) adalah wajibnya mengetahui siapa target dakwah kita. Apabila sudah, maka susun strategi pendekatan yang menyesuaikan dengan karakter mereka.

Mari kita perhatian matan (bunyi/isi) hadist shahih Kanjeng Nabi mengenai misalnya siapa yang dikatakan beriman. Pada sesiapa yang bertanya maka jawaban beliau akan ‘berbeda’. Disesuaikan dengan kapasitas dan keadaan umat (target dakwah) yang dihadapinya. Bahkan yang menarik ketika seseorang bertanya pada beliau mengenai satu ajaran Islam yang cukup dengannya bisa ber-Islam. Jawaban beliau cukup singkat: Jangan Bohong! Sederhana tapi mendalam maknanya. Karena jawaban itu saja konsekuensi logisnya sangat besar. Pada akhirnya si fulan yang mendapat jawaban itu justru berkenan melakukan ajaran lain. Pintu masuk berdakwah itu kuncinya. Nabi memahami betul orang-orang yang datang kepada beliau karena dibimbing langsung oleh Kekasih Sejatinya. Maka kita yang mengakui hambaNya dan umatnya, setidaknya mengikuti yang demikian.

NOISE vs VOICE

Bulan ini umat kembali disibukkan dengan keramaian yang berpotensi memecah belah justru karena ketidakmahiran memahami target dakwah dimaksud. Sama seperti bulan Desember. Bisa dikatakan sejak akhir Desember, awal Januari dan pertengahan Februari kita seperti punya ritual rutin. Ribut dan saling ‘serang’ hingga terkadang pada banyak kasus pilihan kata yang dipakai menjadi tidak pantas muncul di depan publik yang beragama hingga berpotensi merusak keagungan ajaran agama. Dalam bahasa sederhana, kita diminta menyelisihi (ini maksudnya berbeda) dengan umat lain agar kita punya identitas sendiri. Jika hendak menyampaikan apalagi itu di media sosial perhatikan baik-baik bahwa ia akan menyasar publik yang akan beragam kapasitas keilmuan dan kapabilitas pemahaman.

Jika sekedar mengatakan ini haram, ini bid’ah dan sebagainya (ingat kata haram dan bid’ah ini sudah mengalami peyorasi dalam kaitannya dengan khazanah Bahasa di negeri ini) lalu asal copy-paste dalil hasil ‘berdoa’ pada tuhan Google yang terjadi justru ”Noise” bukan ‘Voice’. Parsialitas bukan keutuhan. Padahal “voice’ itu membutuhkan keutuhan pemahaman bukan pengetahuan parsial lalu muncul ke permukaan dengan ‘gagah’nya tanpa menimbang apa dampaknya. Wah, berani benar saya menuliskan begitu. Saya bukan berani tetapi sedang melatih diri menulis, mengawalinya dengan permintaan maaf jikalau kiranya kurang berkenan nantinya dan terakhir karena dulu saya pernah berada pada posisi yang sama dan merasakan sendiri akibatnya, dus lahirlah tulisan ‘sederhana’ ini. Mudah-mudahan menjadi bahan renungan bersama terutama bagi kita penggerak dakwah di jagat maya khususnya media sosial. Semoga.

BALAI PEMUDA KOTA SURABAYA

Senin, 16 Februari 2015

Pukul 12.08 WIB

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply