Dalam setiap perhelatan momen penerimaan mahasiswa baru, para senior selalu menyelipkan kesempatan untuk berpesan pada para junior bahwa mahasiswa adalah “agent of change”. Itu seolah mantra sakti mandraguna yang bisa menjadi pembius kebanggaan para pemakai jas almamater kampus.

Entah karena apa pada 2009, saya berpikir kenapa harus menjadi “agent”? Bukankah artinya kita ini kurang memiliki ‘inisiasi’ untuk berkreasi selain “nompo” apa yang diselipkan oleh para senior dalam tiap momen penerimaan mahasiswa baru. Bahwa harus ini dan itu. Karena selipannya adalah “agent” dan intensitasnya berulang masif maka kita pun berjalan dan menjalani kata mantra itu selama menyandang status ‘agent’. Dalam banyak kesempatan, asosiasi pikiran kita saat mendengar. membaca atau melihat kata “agent” apa seh?

Mari kita beralih sebentar ke kata “leader of change”. Ada kata “to lead” di sana yang menandaskan suatu ‘inisiasi’ dan ketersediaan memimpin. Tapi tak sekedar memimpin loh yah. “Leader” beda dengan manajer ataupun bos. “Leader” adalah ketersediaan menuju ‘sesuatu” yang telah diinisiasi tersebut untuk bersama-sama melangkah mewujudkkannya. Ada independensi dari kata ‘leader’ itu daripada “agent”.

Apakah karena mahasiswa ditanamkan dalam pemikirannya mulai LKMM-TD, LKMM-TM hingga LKMM-TL ataupun dalam tiap tingkatannya di organisasi dimana mereka aktif, maka sekarang kita melihat seolah (gerakan) mahasiswa “disetir” keadaan dan situasi?

Situasi kekinian di sektor politik dan ekonomi tak jua membuat mereka menginisiasi sebuah ‘gerakan’ atau ‘(massa) aksi” untuk memberikan “pressure” pada pihak terkait dan berwenang agar melakukan suatu langkah strategis ataupun mempercepat langkah karena kondisi ‘darurat’ yang ada.

Oh saya lupa, katanya sekarang bukan jamannya aksi atau sejenisnya ya. Tapi apa karena saya kurang baca, bukankah “AKSI” itu tak harus selalu demo ya. Bahwa patungan dana seribuan rupiah saja misalnya lalu membantu ‘prekreditan” tanpa bunga tapi dengan pengelolaan profesional terhadap para pelaku usaha kecil yang butuh modal juga aksi, bahwa memunculkan tulisan di media terkait isu terkini beserta solusinya juga aksi, bahwa berbicara lantang di hadapan penguasa ‘zalim’ juga aksi, mengubah cara pandang terhadap ‘ospek’ yang tidak konven nan kolot juga aksi? Ataukah memang saya keliru.

(Gerakan) mahasiswa lebih banyak ‘disetir” opini dan gerak langkahnya karena mereka bingung bagaimana mendefinisikan dirinya, mereka ini aslinya ‘agent or leader of change’? Saat dikatakan ini bukan era aksi/demo maka mereka ‘terburu-buru’ segera mengambil ‘langkah’ berbeda asal bukan aksi (itu kalau demo mau diartikan aksi loh ya). Kenapa harus begitu? Haruskah (gerakan) mahasiswa menjadi “post” padahal menjadi “neo” kan justru lebih strategis. Artinya apa? Demo bukanlah satu-satunya jalan tapi tetap dibutuhkan. Demonstrasi tetaplah menjadi kekuatan ‘pressure’ bagi pemegang status quo?

Bukan kemudian, ada suara (yang lebih banyak disuarakan masif oleh para ‘agent’ pemegang status quo di berbagai kesempatan) yang berkata X lalu (gerakan) mahasiswa bergerak ke sana. Apakah itu memang maksud “agent of change”? A’gent” lebih menonjolkan “dependensi” alih-alih ‘independensi’ gerakan seperti yang kerap di-gaung gema-kan. Bukankah yang mesti dilakukan adalah bagaimana melakukan demo yang ‘berbeda’ dengan generasi senior? Bukankah demo yang tertib tanpa harus membakar bakar, memacetkan jalan karena peserta demo ‘memblokir’ jalan raya, tanpa menyita mobil/truk BBM yang mau dimasukkan ke SPBU agar rakyat bisa beli segera, bukankah demonstrasi disertai artikel dengan kajian holistik tapi tidak njlimet dan narsistik adalah sesuatu yang tetap bisa dilakukan?

Bukankah, menjadi aktivis mahasiswa yang aktif tak berarti harus berIP(K) dua koma innalillah atau penderita nasib satu koma? Menjadi aktivis mahasiswa yang aktif tetap bisa memiliki IP(K) tiga koma alhamdulillah kan? Itu hanya soal cara atau metode mengatur. Itu hanya soal manajemen waktu dan manajemen strategi sebagai (aktivis) mahasiswa?

Sekali lagi, menjadi mahasiswa tetap bisa menjalankan tupoksinya untuk membawa ‘suara lantang’ pengingat terhadap pemegang status quo yang kini entah mulai lupa bahwa harga BBM naik (lagi), harga sembako meroket tinggi, tarif dasar listrik naik (lagi), rupiah lemas lesu tak berdaya. Perlu ada pengingat yang istiqomah menjalankan peran dan fungsinya dengan tetap tak melupakan tugas dan kewajibannya.

Maka sekarang pilihannya, apakah mahasiswa tetap mau menjadi “agent of change” ataukah menjadi “leader of change” dengan segala varian derivatifnya? Semua kembali pada mereka, karena pasca undangan makan di istana perlahan ‘suara’ mereka meredup entah kemana? Entahlah.

MATARAM,
31 Agustus 2015
Pkl 06.33

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply