Rutinitas tahunan kembali menghebohkan media sosial, khususnya dunia kampus memasuki bulan Agustus-September. Bukan karena mahasiswa kedokteran berusia 14 tahun diterima di sebuah kampus ternama, melainkan mengenai topik orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek). Pro dan kontra selalu terjadi. Masing-masing kubu tentu memiliki sederet argumentasi untuk mempertahankan posisi mereka dan itu absah dalam sebuah diskusi.

Membincang ospek khususnya di Indonesia memang menarik. Apalagi program tahunan kampus ini di-identik-kan dengan adanya ‘violence’ mulai dari verbal hingga fisik. Histori mencatat rapi data para ‘korban’ terkait kekerasan ini. Apa demi alasan agar tampak ‘ilmiah’ beberapa data mesti dimunculkan? Saya kira di era internet pembaca artikel ini bisa langsung “pelesir” di dunia maya untuk mencarinya.

Saking menariknya, sekelas Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (kementerian baru di era pemerintahan Joko Widodo) yang membawahi perguruan tinggi sampai mengeluarkan Peraturan Dirjen Dikti No 274/2014 yang melarang perploncoan saat ospek dan melarang mahasiswa jadi pimpinan Ospek. Meski aturan itu dijamin hanya menjadi macan ompong tapi ini begitu menarik. Sebegitu menyeramkankah ospek hingga mulai kaum alit hingga elit ‘riuh’ melibatkan diri di dalamnya? Bagaimana lika-liku ospek hingga sedemikian “menarik”?

AWAL MULA OSPEK

Sebenarnya tidak ada data valid terkait kapan ospek pertama kali diberlakukan. Hasil ‘pencarian” di dunia per-google-an menyatakan dan ini lebih masuk akal. Pertama kali diadakan di Universitas Cambridge, Inggris. Mengingat mayoritas mahasiswa yang masuk dari kalangan the have dan disinyalir manja (emang setiap anak orang kaya manja kah? I dun think so) dan susah diatur alias dianggap sak enake dewe, maka ‘kaum senior’ merasa perlu adanya sebuah acara/program agar mereka bisa lebih mudah ‘diatur’ dan tidak lagi manja serta tak sesuka hati.

Untuk konteks tanah air, berdasarkan stori juga ospek pertama kali diperkenalkan oleh ‘kaum senior’ di kampus STOVIA yakni kampus kedokteran era Hindia Belanda. Usut punya usut ternyata dilakukan khusus untuk kaum pribumi oleh ‘kaum senior kolonial’ karena historinya kaum om-om dan noni-noni ini merasa ‘derajat’nya lebih sip lah daripada kaum pribumi. Maka ospek lebih dikenal dan menjadi akrab ditelinga kita dengan istilah ‘plonco’ untuk menandaskan pada kita bahwa diksi itu negatif.

Memang amat membingungkan mencari rekam jejak “mbah ospek” ini di dunia maya karena memang rerata ya berdasarkan stori. Lebih membingungkan lagi jika melihat dalih/alasan diadakannya. Apakah sampai sekarang seperti juga? Apakah ‘plonco’ dan pelakunya dapat disebut ‘kaum senior kolonial’ juga?
Wah bisa-bisa saya ‘didamprat’ abis dan kian riuhkan dunia per-media sosial-an nantinya. Tapi ya memang bingung juga, karena alasan ‘kaum senior’ saat ini apalagi divalidasi saat pernah mengalami dulu (histori) kurang lebih alasannya sama juga walau tentu era saya bukan era kolonialisme atau beralih ke “kolonialisme”? Entahlah.

TUJUAN dan FUNGSI “MULIA” OSPEK

Ini saya lansir tujuan kenapa ospek kudu ada dan apakah fakta di lapangan demikian adanya, maka di situlah diskusi akan berjalan saya kira. PERTAMA, mengenal dan memahami lingkungan kampus sebagai suatu lingkungan akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya. KEDUA, menambah wawasan mahasiswa baru dalam penggunaan sarana akademik yang tersedia di kampus secara maksimal. KETIGA, memberikan pemahaman awal tentang wacana kebangsaan serta pendidikan yang mencerdaskan berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. KEEMPAT, mempersiapkan mahasiswa agar mampu belajar di Perguruan Tinggi serta mematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku di kampus, khususnya yang terkait dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa. KELIMA, Menumbuhkan rasa persaudaraan kemanusiaan di kalangan civitas akademika dalam rangka menciptakan lingkungan kampus yang nyaman, tertib, dan dinamis. KEENAM, menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggungjawab akademik dan sosialnya sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Duh, baca itu tujuan keren sekali ya. Makanya saya setuju sekali OSPEK mestilah ada dengan catatan seperti 6 poin di atas. Apalagi jika kita dihadapkan pada fungsi ospek itu sendiri. Adem bacanya smile emoticon. Mau tahu? Mari kita nikmati bersama. Pertama, FUNGSI ORIENTSI bagi mahasiswa baru untuk memasuki dunia Perguruan Tinggi yang berbeda dengan belajar di sekolah lanjutan. Kedua, FUNGSI KOMUNIKATIF yakni komunikasi antara civitas akademika dan pegawai administrasi kampus. Ketiga, FUNGSI NORMATIF yakni mahasiswa baru mulai memahami, menghayati dan mengamalkan aturan-aturan yang berlaku di kampus. Keempat, FUNGSI AKADEMIS yakni pengembangan intelektual, bakat, minat dan kepemimpinan bagi mahasiswa.

Tuh kan, tujuan dan fungsi OSPEK begitu ‘mulia’. Tetapi faktanya, banyak “korban” dari merasa ‘tersakiti’ hingga benar-benar mati. Ini tentu beralasan jika pejabat elit beramai-ramai riuh tapi minim evaluasi. Kenapa saya berani katakan demikian? Karena mereka merasa problem ospek bisa selesai dengan ‘selembar aturan’ yang dikirim dari Jakarta ke daerah.

FAKTA OSPEK

Saya tidak hendak membawa perdebatan soal ospek yang (ny)aman itu seperti apa dalam bagian ini tetapi lebih ‘merangkum’ jika boleh secara lebih singkat saja terkait praktek ospek di lapangan. Jika melihat tujuan pada keenam poin di bagian sebelumnya saya kok melihat memang banyak yang keluar dari pakem. Walau memang ada tugas ‘menulis’, ‘diskusi’ dan ‘demonstrasi’ dalam rangkat menaikkan daya literasi ‘kaum junior’ (ini anggapan keliru karena menganggap maba lemah di situ dan senior lebih oke), tapi lebih banyak dapat stori tetangga sebelah tentang ospek yang bikin ‘gedek’. Mulai dari masuk pukul 5 pagi tepat, membuat ‘papan nama’ sebesar gajah, rambut dikuncir memakai pita dari tali rafia, hingga topi dari wadah nasi yang sepertinya impor dari Cina sampai wajib makan tapi tangan diikat.

Walau jujur selama belajar di ‘penjara’ bernama sekolah/kampus belum pernah dapat yang begituan, tapi memang ospek di Indonesia menarik sekali. Saya pribadi sebenarnya lebih ‘menikmati’ atraksi kaum senior dan mengkomparasikan atraksi mereka pasca ospek. Kenapa demikian? Karena saya pernah menjadi Ketua TimDis yang dibilang ‘keren’ itu waktu SMA tapi saat kuliah meninggalkannya, saya pernah menjadi ketua panitia orientasi anak baru walau saat itu di tingkat SMA dan saat kuliah meninggalkannya. Saya menemukan adanya ‘irisan’ pada kedua kubu dan itu bisa divalidasi.

Uniknya, kebingungan saya kian menjadi saat pasca kampus dan mesti mengisi acara program pengenalan anak baru di berbagai kampus, ada ‘benang merah’ dari sejak OSPEK pertama kali diadakan hingga saat ini berjalan. Ada ‘irisan’ antara alasan kelompok pendukung dan yang menolak. Maka sepertinya keiruhan rutin tahunan ini akan tetap menjadi ‘tradisi’.

Apakah ‘perubahan” ospek yang ada sekarang menjawab tujuan dan fungsi? Sepertinya tidak juga. Sama-sama masih masuk pada satu tujuan atau fungsi saja dan ‘terkesan’ melupakan atau terlupakan akan tujuan dan fungsi lainnya yang mestinya menjadi kesatuan yang menyeluruh.

Ospek yang ada sekarang hanya ‘upaya’ menghindari kesan ‘violence’ dan ‘plonco’ yang entah oleh siapa mesti di-identik-kan dengan hal-hal yang negatif. Maka kunjungan ke panti asuhan, berbagi dengan anak yatim, pergi ke hutan mangrove, mengunjungi pabrik malah justru menjadi komoditas baru untuk ‘lari’ dari sebutan serba negatif itu padahal juga tak menjawab secara keseluruhan tujuan dan fungsi dari ospek itu sendiri.

Dus, sekali lagi sepertinya keriuhan kubu pro dan kontra akan tetap menjadi tradisi dan bisa “dinikmati” tiap tahun sebagai rutinitas yang entah kapan akan tuntas.
‪#‎SekedarBerbagi‬

KOTA SOTO,
25 Agustus 2015

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply