Berbicara mengenai hubungan antara negara, pasar dan (tentu) dengan masyarakat sipil atau publik di Indonesia, maka kita akan dihadapkan pada sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Kita dapat melihat bahwa terdapat paralelitas yang senantiasa berulang dalam ranah sosial dan politik sehingga memungkinkan adanya social political changes. Saat Orde Lama, Soekarno mencoba melakukan ”nasionalisasi” perusahaan-perusahaan minyak asing milik penjajah Belanda maupun korporasi asing lainnya sehingga terjadi kemandirian pengelolaan melalui apa yang kita kenal dengan istilahnya yang cukup populer yakni berdikari. Berdasarkan konsep ini maka terdapat upaya Soekarno untuk mencoba mem-balance antara state dan civil society, sesuatu yang kemudian hari malah menjadi bumerang baginya. Di era Orde Baru justru terjadi hal sebaliknya, dominasi negara (developmentalism) yang disokong asing justru menjadi pemandangan monoton selama 32 tahun pemerintahan Soeharto.

Pada tahun 1998, kehadian reformasi justru membuat demokrasi yang menjadi platform utama perjuangan, malah berjalan seirama dengan pasar. Di sinilah kemudian munculnya kebangkitan baru liberalisme melalui apa yang dikenal dengan istilah neo-liberalism, yang mana tak ada bebas nilai karena dalam perjalanannya menjelma menjadi ”ideologi” atau bahkan ”mitos” seolah-olah bangsa ini tak kuasa menghindar. Ini sungguh berbeda dengan negara yang diklaim sebagai penganut liberalisme semisal Amerika Serikat dan Inggris yang fase awalnya justru tidak membuka pasar secara luas atau dengan kata lain peran negara masih dominan, bahkan faktanya hingga saat ini di Amerika Serikat tidak terjadi neo-liberalisme. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan kritik terhadap praktek penyelenggaraan negara yang diklaim banyak pihak terlalu kental aroma neoliberalnya.

Kalau kita kaji lebih jauh, secara ontologis, dalam neoliberalisme komunitas itu tidak ada. Artinya hal tersebut membuktikan bahwa ranah civil society seakan ”dimarjinalisasi”. Hal ini sangat bertentangan dengan fatsoen politik reformasi yang mengedepankan demokrasi sebagai pilar utama. Ketiadaan common goods atau hilangnya nilai-nilai republicanism sebagai bagian inherent demokrasi seperti munculnya produk-produk hukum berbasis politik yang “kesan” nilai-nilai neoliberalnya sangat kentara seperti UU Sisdiknas, UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air, Undang-Undang tentang Corporate Social Responsibility atau UU CSR yang disahkan pada tahun 2007 dan bahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan membuktikan hal tersebut. Sebenarnya secara teoretis, keunggulan neoliberalisme lebih ditentukan oleh pembelajaran mereka atas kritik para intelectual groups atau kalangan teoretisi yang banyak mengkaji permasalahan terkait. Kaum penyokong neoliberal banyak mengambil “hikmah” dari sumbangan kaum cendekiawan itu. Seperti yang pernah diungkapkan oleh David Harvey (2005), salah satu pakar ekonomi politik internasional, bahwa teori dan praktek tentang kesejahteraan dapat dicapai melalui interpreneurship individu. Ide ini yang pernah diterapkan oleh Inggris saat kekuasaan Margareth Tatcher dan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan.

Jika dalam liberalisme, kebangkrutan ditanggung oleh para investor maka dalam neoliberalisme kebangkrutan itu tidak hanya berakibat kerugian pada para penanam saham melainkan juga rakyat atau dalam hal ini adalah civil society. Bahkan dengan neoliberal ini saat terjadi krisis posisi swasta (market) terkesan leading sedangkan pemerintah atau negara masuk hanya dengan kebijakan berupa bailout. Sebenarnya, kemunculan neoliberalisme seiring sejalan dengan adanya globalisasi di akhir abad ke-20, tetapi dalam perjalanannya neoliberal muncul menjadi semacam globalism tanpa globalisasi.

Melihat itu semua maka semakin menguatkan kepercayaan bahwasanya, saat ini konstelasi perpolitikan Indonesia kaitannya dengan relasi antara state, market dan civil society nampak sekali posisi market dengan paham neoliberalnya menyeruak ke depan. Semisal lahirnya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang memuat tentang CSR ( pasal 74 ) pada Juli 2007 silam. Ini seakan menjadi ”bendera putih negara”. Padahal sesuai konstitusi kita masalah kesejahteraan civil society merupakan tanggung jawab negara. Dilihat dari segi hukum dimana secara ontologis, hukum itu muncul adalah untuk mengatur interaksi manusia sehingga bargaining interaksi itu kemudian menjadi seimbang. Namun dalam logika neoliberal, terdapat sebuah diktum untuk membiarkan interaksi itu terjadi secara alami dan hukum dijadikan semacam ”praktek Darwinisme”. Maka kemudian hukum muncul sebagai alat negara sehingga bermunculan produk-produk hukum sebagai ”pembungkus sosial politik” seperti munculnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), munculnya rezim HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), pada tahun 2007 dengan UU ITE, ataupun UU Sisdiknas tahun 2003. sehingga menjadi pertanyaan pada akhirnya hukum itu berpihak pada siapa dan dimana peran negara jika kemudian semua tugas dan tanggung jawab negara di”serah”kan pada swasta alias market.

Melihat realita ini maka menurut hemat penulis, diperlukan adanya pemetaan ulang terhadap peran dan fungsi negara dan pasar kaitannya dengan fenomena global untuk memasukkan peran civil society sehingga terdapat keseimbangan interaksi antara ketiga elemen tersebut. Sehingga sebuah pertanyaan besar yang sekaligus menutup tulisan pendek ini adalah apakah yang salah dengan bangsa ini sehingga regulasi di Indonesia terkesan lemah dan berpihak pada satu kekuatan saja? Visi misi kita ataukah justru tidak adanya komitmen untuk berusaha menyeimbangkan hal itu. Pada akhirnya pertanyaan apakah ada dominasi market (baca: neoliberal) atau tidak, semuanya dikembalikan pada visi, misi dan komitmen bangsa dan itu semua dapat dilihat pada realitas yang tengah berlangsung di depan kita. Wallahu’alam!

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply