Abstract

Paper ini mencoba melihat kemungkinan integrasi regional dunia Islam dari aspek kedekatan basis ideologinya. Hal ini tentunya membawa kita pada perdebatan apakah integrasi regional di dunia Islam bisa terwujud dan bisa survive lantaran kesamaan basis ideologi? Perdebatan berikutnya adalah apakah motif politik ataukah motif ekonomi pragmatis sebagai landasan integrasi regional yang lebih meyakinkan? Perdebatan ini tentunya terkait sejarah terbentuknya Uni Eropa yang lebih memfokuskan aspek motivasi ekonomi sehingga menjadi titik tekan pembahasan apakah integrasi dunia Islam harus mengikuti jejak pendahulunya tersebut. Dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan yang sama sebagaimana Andrew Hurrell dalam Regionalism in Theoretical Perspective dalam melihat gejala regionalisme dunia Islam guna menyongsong kembali kejayaan Pan Islamisme.
Keywords: Islam, Pan Islamisme, regionalisme dan Andrew Hurrell

A. Pan Islamisme Klasik: Sweet Memory yang Membangkitkan Awareness

Dalam periode pertumbuhan, kaum Muslim pernah mengalami masa kejayaan. Hal itu terjadi saat kaum Muslimin menjadikan Islam sebagai basis ideologi untuk menciptakan integrasi yang terangkum dalam Daulah Khilafah Islamiyah. Sejak permulaan munculnya 14 abad yang lalu, Islam melalui pembawa risalahnya Muhammad ibnu Abdullah telah membuktikan pada dunia bahwa ideologi ini berbeda dengan ideologi lainnya. Proses integrasi menuju Pan Islamisme tetapi memberikan domino effects terhadap seluruh aspek kerja sama yang diidamkan oleh dunia modern saat ini yakni aspek pendidikan, sosial budaya, kesehatan, sains dan teknologi hingga faktor pemersatu paling penting, ekonomi. Kelebihan ini diakui oleh H.A.R. Gibb (dalam Imam Munawwir, 2006: 17) yang mengatakan “ Islam is indeed much more than a system of theology, it isa complete civilization”.

Berangkat dari suatu kawasan yang tidak pernah diperhitungkan dalam percaturan politik global saat itu, Muhammad ibnu Abdullah yang dilanjutkan para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in telah menjadikan kawasan jazirah Arab sebagai salah satu kekuatan super power. Sebuah bukti akan kesuksesan konsep integrasi menuju struktur global yang diimpikan manusia modern saat ini sehingga tidak salah apabila Robert N. Bellah (1991: 150- 151) mengatakan: “ When the structure that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern. It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank- and- file members of the community. It is modern in the openness of its leadership positions to ability judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary top leadership”.

Jika regionalisme modern yang banyak kalangan lebih menekankan pada faktor ekonomi sebagai alat pemersatu utama kerja sama antara entitas politik yang ada, maka Pan Islamisme klasik telah membuktikannya dimana sektor ekonomi menjadi perhatian utama khalifah saat itu. Terbukti dengan pembentukan Baitul Maal atau kas negara sejak pemerintahan khalifah Umar ibnu Khattab . Umar pulalah yang meletakkan dasar-dasar praktek penyelenggaraan negara modern pertama dan ini diakui oleh kalangan Barat jadi bukannya apologetik. Integrasi Pan Islamisme ini meliputi Asia, Afrika dan Eropa dan jauh melebihi kekuasaan kekuatan manapun di dunia yang pernah berkuasa. Dalam menggambarkan hal ini L. Stodard mengatakan bahwa kekuasaan Islam saat itu terbentang “ from The Pyrenes to the Himalayas and the deserts of Central Asia to the deserts of Central Africa”. Kekuasaan Pan Islamisme ini dilanjutkan oleh Daulah Islamiyah Turki Utsmani hingga keruntuhannya 23 Maret 1923 dengan berdirinya Republik sekuler Turki di bawah pimpinan Musthafa Kemal At-Taturk.

Keruntuhan Pan Islamisme lebih dikarenakan pengaruh Barat dengan terutama konsep nasionalismenya sehingga Islam sebagai sebuah ideologi tidak lagi dianggap solutif dalam menggapai kesejahteraan manusia modern. Banyak kaum muslim yang condong ke Barat mulai dari ideologi hidup, sistem negara, konsep politik, ekonomi serta sains dan teknologi. Dimulailah kolonialisme Barat atas dunia Islam. Kondisi yang memprihatinkan ini memunculkangerakan revivalisme Islam.

Revivalisme Islam: Bukti Ideologi Islam Tak Pernah Pudar

Sejak akhir abad ke- 18 dunia Islam mengalami kemunduran yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Pemerintahan Islam dengan konsepnya yang terbaik kini telah berganti dengan sistem pemerintahan yang despotis. Anarki dan pembunuhan demi perebutan kekuasaan terjadi dimana- mana. Satu demi satu daerah yang tergabung ke dalam Pan Islamisme melepaskan diri dan mendirikan negara dengan memakai konsep Barat. Dunia Islam telah kehilangan “ruh”nya yakni ideologi sebagai worldview.

Di saat demikian muncullah gerakan revivalisme Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan Wahabinya. Tujuan gerakan Wahabi adalah pemurnian atas ideologi Islam yang telah banyak berubah dan disesuaikan dengan bentuk Islam di masa Muhammad Saw. Untuk masifnya gerakan Wahabi maka Muhammad bin Abdul Wahab mendirikan sekolah untuk mencetak kader- kader. Dan salah satu kadernya yang kelak memiliki pengaruh cukup dominan di dunia Islam adalah Su’ud yang kemudian dapat merebut tanah Nejed dan Hejaz dan kemudian mendirikan negara Saudi Arabia. Kalau Wahabiah lebih mewakili Jazirah Arab maka di Aljazair, Afrika muncul seorang revivalis Muhammad bin Ali As- Sanusi Al- Idrisi pendiri tarekat Sanusiyah yang kemudian terjun ke dalam masyarakat untuk memimpin perjuangan gerakan kembali kepada kemurnian Islam tetapi lebih menekankan pada cara- cara persuasif dan damai. Kalau umat Hindu India memiliki Mahatma Gandhi maka dunia Islam memiliki Muhammad As-Sanusi. Menyusul kemudian munculnya gerakan yang dipimpin oleh Muhammad Abduh yang menitikberatkan aspek pendidikan dan menghasilkan para pembaharu Islam yang lain seperti Muhammad Rasid Ridha.

Gerakan revivalisme Islam yang paling berpengaruh dan fenomenal adalah Jamaluddin Al-Afghani dengan konsep Pan Islamisme dan Hasan Al-Banna dengan Jama’ah Ikhwanul Musliminnya (JIM) . Tujuan pertama dari Pan Islamisme Jamaluddin Al- Afghani (dalam Imam Munawwir, 2006: 24) adalah untuk mempersatukan negara- negara Islam ke dalam satu federasi, yang mampu menghalau campur tangan Eropa dan mewujudkan kembali kejayaan Islam. Sedangkan tujuan utama Jama’ah ikhwanul Muslimin adalah membangun pribadi Muslim, kemudian menuntut setiap Muslim agar membina keluarga Muslim dan pada akhirnya akan membentuk masyarakat Muslim dan negara Islam yang kemudian akan bersatu. Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan yang bergerak di ranah sosial dan ekonomi. Dengan sistem halaqoh atau liqo’ yang masif, maka gerakan ini telah memberikan dampak luar biasa bagi gerakan revivalisme Islam.

Konsep Pan Islamisme Al- Afghani ini dan Jama’atul Ikhwanul Muslimin Al- Banna ini mampu memberikan dampak luar biasa bagi dunia Islam. Pendirian Organisasi Konferensi Islam (OKI) setidaknya terpengaruh akan konsep dari tokoh pembaharu Islam tersebut, terutama Pan Islamisme Al-Afghani. Bahkan munculnya HAMAS (Harakah Muqawwamah Al- Islamiyah) adalah hasil (secara tak langsung) dari gerakan Ikhwanul Musliminnya Hasan Al- Banna yang mengembangkan aspek geraknya dalam ranah politik praktis.

B. Menilik Pengalaman Regionalisme Islam (Modern): Sebuah Pembelajaran

Dalam konteks modern maka dunia Islam bukannya tidak memiliki pengalaman dalam upaya membentuk suatu integrasi yang bahkan lebih bersifat kesadaran baik yang sifatnya karena kedekatan geografis maupun karena memang berbasiskan ideologi Islam (meskipun hal ini sangat debatable). Hal ini tentunya karena setelah keruntuhannya, kaum muslimin banyak bersentuhan dengan dunia Barat sehingga setidaknya realitas tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan dunia Islam modern. Dalam tulisan ini penulis tidaklah menekankan bahwa suatu regionalisme haruslah dilandasi faktor kedekatan geografis semata. Karena apa yang disebut dengan region dan regionalism telah menjadi perdebatan sejak akhir 1960-an dan awal 1970-an tapi telah dicapai “sedikit konsensus” yang setidaknya menurut Andrew Hurrell harus memenuhi kriteria: social cohesiveness, economic cohesiveness, political cohesiveness dan organizational cohesiveness serta adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara satu negara dengan negara lainnya. Sehingga disadari atau tidak region atau regionalisme merupakan konstruksi sosial bukannya suatu doktrin atau dogma yang tak bisa diperdebatkan.

Meskipun begitu karena regionalisme ini merupakan konsep Barat maka kita tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri. Meskipun terlalu mencondongkan diri ke Barat juga bukanlah perbuatan arif. Untuk memulainya maka kita dapat melihat bagaimana usaha dunia (Arab) Islam membentuk Liga Arab. Liga Arab merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari negara- negara Arab dan didirikan pada 22 Maret 1945 oleh 7 negara yaitu Mesir, Irak, TransJordan yang pada tahun 1946 berubah menjadi Jordania, Lebanon, Arab Saudi, dan Suriah. Pendirian liga ini berdasarkan Pact of The League of Arab States yang kemudian dijadikan konstitusi. Berdasarkan piagamnya tersebut maka tujuan pendirian Liga Arab adalah untuk memajukan kerja sama politik antara negara anggota, menyelesaikan sengketa- sengketa antar negara Arab, menggalakkan dan mengawasi kerja sama antar negara Arab di bidang ekonomi, komunikasi, kebudayaan, sosial dan lainnya ( Kirdi Dipoyudo, 1981: 25).

Dalam perkembangannya, Liga Arab menjadi wadah penyusunan kerja sama yang mendukung integritas ekonomi di antara negara anggota. Terbutki dengan pembentukan Joint Arab Economic Action Charter atau Perjanjian Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Arab tapi belum berjalan sesuai dengan yang dicita- citakan dan memang terkesan hanya mumpuni di atas kertas. Mekanisme organisasi ini adalah pembentukan Dewan Liga yang terdiri atas 1 perwakilan dari negara anggota dan bersidang 2 kali dalam setahun tetapi dapat menyelenggarakan sidang luar biasa apabila mendapat permintaan setidaknya dari 2 negara anggota. Sekarang keanggotaan Liga Arab berjumlah 23 negara (termasuk Palestina) dan ia juga memiliki observer country yang berperan sebagai pemerhati terhadap semua kegiatan dan guna menjaga independensi Liga tetapi tidak memiliki hak suara maupun kewajiban sebagaimana anggota penuh Liga. Sekarang Liga Arab memiliki 3 observer country yakni Eritrea yang masuk tahun 2003, Venezuela tahun 2006 dan India tahun 2007.

Agresi terhadap satu negara anggota dianggap sebagai agresi terhadap seluruh negara Arab sehingga diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya. Untuk mewujudkan hal itu dibentuklah Permanent Joint Defence Council dan Permanent Military Council pada tahun 1952 tetapi penggalangan kekuatan kolektif ini seringkali gagal dalam prakteknya seperti pada kasus Krisis Terusan Suez tahun 1956 dan kasus Palestina yang sampai sekarang berlarut- larut penyelesaiannya. Meskipun seringkali terjadi konflik internal seperti kasus dikeluarkannya Mesir saat Presiden Anwar Sadat menandatangani Perjanjian Damai Camp David dengan pihak Israel atau keinginan beberapa negara anggota suntuk menjadi kekuatan dominan tetapi Liga Arab merupakan suatu kekuatan (Arab) Islam yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Hal ini karena negara Arab merupakan negara dengan kandungan cadangan minyak terbesar di dunia (meskipun faktor vital ini tak pernah dimainkan secara maksimal untuk kehidupan bersama dunia (Arab) Islam).

Selain Liga Arab sebagai wujud Pan Arabisme (terutama dari Gamal Abdul Nasser), muncul sebuah organisasi yang lebih merepresentasikan kesatuan dunia Islam yakni Organisasi Konferensi Islam (OKI). Organisasi ini kalau dilihat dari akar pemikiran terbentuknya maka pengaruh Jamaluddin Al-Afghani amat kentara. OKI didirikan pada 25 September 1969 dalam pertemuan pertama para pemimpin dunia Islam di Rabat (Maroko) sebagai respon terhadap aksi pengeboman Masjid Al-Aqsha oleh Yahudi Israel pada 22 Agustus 1969. Secara historis OKI didirikan untuk membela kasus Palestina tetapi secara umum organisasi in bertujuan untuk mewujudkan cita- cita seluruh negara Islam untuk terlaksananya pembangunan menyeluruh bagi kebangkitan dan kemajuan Islam. Dan yang paling penting adalah mewujudkan solidaritas dan integritas seluruh negara Islam dengan cara saling bahu membahu dalam mewujudkan kemitraan antar negara anggota.

Hambatan utama dalam penanaman modal asing di sebagian besar negara Islam adalah sistem dan peraturan yang rumit dan menyulitkan bagi berkembangnya sektor ini. Hal ini terkait faktor bahwa mayoritas negara Islam adalah merupakan developing countries .

C. Integrasi Negara- negara Islam sebagai Regionalisme: Mungkinkah?

Membahas problematika regionalisme di negara- negara Islam maka kita dihadapkan pada pertanyaan, apakah regionalisme ini tidak terbentur faktor geografis mengingat ia menjadi term umum dalam pembahasan regionalisme? Hal ini terkait pula dengan realitas negara- negara Islam tidak seluruhnya berada pada kedekatan geografis meskipun mayoritas (terutama di kawasan Timur Tengah) memiliki faktor tersebut. Tetapi dalam tulisan ini penulis berpendapat bahwa aspek kedekatan geografis bukanlah satu- satunya faktor terbentuknya sebuah regionalisme. Karena regionalisme terbentuk oleh berbagai macam faktor yang saling berkelit kelindan satu sama lain. Sedikit “mendompleng” pada konsep umum regionalisme bahwa usaha untuk mencapai kemandirian dan meningkatkan derajat perekonomian menjadi lebih penting untuk dikedepankan. Di sini penulis melihat bahwa basis ideologi menjadi semacam support untuk menuju regionalisme sebagai stepping stone kebangkitan Pan Islamisme yang telah lama hanya menjadi kenangan belaka. Dan penekanan terhadap faktor ekonomi menjadikan terbentuknya regionalisme menjadi mungkin dan mampu untuk survival.

Menurut Andrew Hurrell sebagaimana telah dibahas di atas bahwasanya konsep region dan tentunya regionalism masih menjadi term yang ambigu sehingga penggunaan kedua kata ini masih dapat diperdebatkan. Menurutnya untuk terbentuknya suatu regionalisme memang faktor geografis tidak dapat dihindarkan tetapi ia dapat dianalisa setidaknya dari aspek social cohesiveness (aspek ini terkait etnis, bahasa, ras, budaya, heritage, sejarah dan sejenisnya), economic cohesiveness ( bentuk perdagangan dan tingkat interdependensi), political cohesiveness ( meliputi ideologi, rezim dan semacamnya) dan organizational cohesiveness ( dilihat pada eksistensi organisasi yang terbentuk sebagai wadah kerjasama) serta adanya saling ketergantungan atau interdependensi antara satu negara dengan negara lainnya. Hal yang tak kalah penting adalah regionalisme sebagai hasil konstruksi yang melewati ranah politik ataukah sesuatu yang natural terjadi relevansinya dengan negara terbentuk tak lebih untuk mengimplementasikan sifat manusia sebagai zoon politicon sehingga kental aroma sosiologisnya. Ataukah regionalisme merupakan suatu bentuk prakondisi tentang penerapan konsep masyarakat internasional yang menjadi concern penstudi hubungan internasional pasca Perang Dingin berakhir.

Melihat bahwa regionalisme sebagai suatu konsep masih debatable sehingga ia berkembang dan meluas (sekaligus memudahkan dalam menjawab hipotesis penulis mengenai regionalisme negara Islam untuk menyongsong bangkitnya Pan Islamisme) maka menurut Andrew Hurrel ada kategori- kategori dari regionalisme yang jika dianalisa akan sangat berbeda. Pemecahan ke dalam 5 kategori ini menurut penulis untuk lebih memudahkan analisis kita terkait aspek teori dengan tataran praksisnya. Pertama, regionalization. Regionalisasi adalah perkembangan integrasi sosial dalam sebuah region dan acapkali merupakan proses interaksi tak langsung antara ekonomi dan sosial. Para akademisi sering menyebutnya sebagai informal integration atau soft regionalism. Kondisi ini sebenarnya telah terbukti dengan adanya interaksi aspek sosial dan ekonomi antara daerah kekuasaan Pan Islamisme klasik seperti bagaimana kerjasama perdagangan para kabilah dagang bangsa Arab dan Persia, Jazirah Arab dengan Asia Tenggara khususnya Indonesia sehingga kondisi ini mendukung untuk terciptanya regionalisme di era modern sekarang
.
Kedua, regional awareness and identity. Merupakan sekumpulan persepsi akan kepemilikan terhadap komunitas partikularistik dan biasanya menyandarkan pada faktor-faktor internal atau sering disebut sebagai common culture. Tapi bisa pula merupakan aksi bersama terhadap ancaman atau tantangan eksternal seperti regional Amerika Latin yang anti terhadap hegemon AS dan dalam konteks ini sangat mendukung terbentuknya regionalisme mengingat munculnya gerakan revivalisme Islam menuju kebangkitan kembali Pan Islamisme merupakan respon terhadap pengaruh dominan Barat di dunia Islam atau terbentuknya OKI merupakan respon dunia Islam terhadap Israel yang mencoba menghancurkan Masjid Suci Al-Aqsha dan pendudukan bangsa Yahudi tersebut atas tanah suci Palestina.

Ketiga, regional interstate co-operation, merupakan kesepakatan bersama yang berisikan negosiasi dan kerjasama antar negara untuk membentuk regim atau lembaga baru yang bersifat intergovernmental. Artinya ini merupakan faktor political will yang merupakan inisiatif dari pemerintah atau dengan kata lain negara mensponsori terbentuknya suatu organisasi regionalisme. Dan tentunya aspek ini diharapkan akan menjadi ajang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bersama (terutama masalah- masalah spesifik seperti isu Palestina dan kerjasama ekonomi yang selama ini hanya berjalan di atas kertas dan lebih bersifat bilateral daripada kolektif). Selama ini organisasi yang terbentuk baru sekedar ajang ”cangkruan” semata dan seringkali tidak menghasilkan keputusan- keputusan konkret.

Keempat, state- promoted regional integration. Yang mana lebih menitikberatkan pada kerjasama regional dalam aspek ekonomi. Di sini dibuat suatu aturan untuk membahas batas-batas antar negara guna memperlancar arus barang, jasa, modal dan mobilitas warganya. Aspek ini meliputi dimensi scope ( keluasan cakupan isu yang diperbincangkan), depth ( tingkat harmonisasi politik antar negara yang melakukan bekerjasama), institutionalization (eksistensi kesekretariatan organisasi formal yang dibentuk, misal sekretariat OKI di Kairo, Mesir sebagai salah satu core state di dunia Islam) dan terakhir centralization ( derajat otoritas yang efektif dalam organisasi dan aspek ini dalam dunia Islam terutama dalam tubuh OKI masih lemah).

Dan terakhir adalah regional cohesion. Yang diartikan sebagai adanya kemungkinan kombinasi dari keempat proses sebelumnya tersebut menjadi sebuah unit regional yang kohesif dan terkonsolidasikan. Kohesi inilah yang menjadi fokus para penstudi hubungan internasional. Dimana kohesi di sini dipahami dalam dua aspek, pertama saat region tersebut memainkan peranan yang telah diformulasikan bersama antara negara (terutama main actors) dalam kawasan atau di dunia global dan ketika region itu membentuk organisasi atau institusi yang merupakan basis kebijakan dalam kawasan dalam menanggapi isu-isu eksternal. Faktor ini menjadi tantangan terbesar yang harus segera dijawab negara- negara Islam untuk segera membenahi organisasi yang sudah terbentuk menjadi lebih merepresentasikan untuk terciptanya suatu integrasi dunia Islam menuju kebangkitan Pan Islamisme.

Selain melalui pendekatan kelima kategori di atas Andrew Hurrel juga menilai bahwa gejala regionalisme dapat pula dilihat melalui pendekatan systemic theories serta domestic-level theories. Jika pendekatan regionalisme dengan 5 kategori sebelumnya lebih bersifat Eropa-sentris maka kedua pendekatan ini menjadi semacam perimbangan pendekatan.

Pendekatan systemic theories. Menurut Hurrell di era modern seperti sekarang tak ada satupun kawasan atupun kumpulan negara yang tak terpengaruh tekanan dunia eksternalnya. Pendekatan systemic theories mencoba melihat hal tersebut dimana terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisa struktur yang ada. Pertama, neo-realism, menurut teori ini sistem internasional yang anarki dan kompetitif merupakan faktor dominan terbentuknya suatu regionalisme. Political power dan merkantilism menjadikan regionalisme sebagai tameng untuk bertahan di dalam sistem internasional yang anarkis dan penuh dengan disparitas kekuatan politik global. Sebagai contoh bahwa Amerika Latin membentuk regionalisme guna bertahan dari gempuran kekuatan politik dan ekonomi Amerika Serikat yang dominan. Hal ini berarti bahwa integrasi dunia Islam berbasis ideologi (dan tentunya kan merambah sektor yang lain) merupakan bentuk jawaban untuk bertahan dari serangan pengaruh Barat yang semakin menghancurkan sendi- sendi Islam. Kedua, muncul kekuatan hegemon kawasan yang dapat mengancam secara eksistensial. Keberadaan Israel yang dominan dan menduduki tanah suci ketiga umat Islam setidaknya menjadi jawaban untuk terbentuknya integrasi dunia Islam yang masif dan lebih cepat karena mereka kini sedang menghadapi musuh bersama. Apalagi kini seluruh sektor kehidupan internasional didominasi oleh paham Barat yang tentu kekutan dominan mereka dapat mengancam eksistensi Islam sebagai worldview. Ketiga, interdependency dan globalization. Yang merupakan bentuk kritik terhadap aliran neo-realisme yang hanya melihat kerjasama dunia dari kacamata anarki dan kompetisi semata. Menurut aliran ini globalisasi telah membuat dunia menjadi borderless dan timeless sehingga kerjasama antar negara di dunia menjadi masif dan menjadikan negara yang satu dengan lainnya sangat tergantung satu sama lain.

Pendekatan berikutnya, domestic- level theories. Menurut pendekatan ini, kebijakan politik domestik turut mempengaruhi terbentuknya suatu regionalisme. Logikanya bahwa stabilitas politik dalam negeri menjadi faktor penting untuk menjaga upaya integrasi tetap terjaga. Karena koherensi politik domestik yang rendah hampir mengganggu proses regionalisme yang ada. Pendekatan ini juga menekankan bahwa sistem negara yang demokratis lebih cenderung untuk berintegrasi dan bekerjasama. Sistem demokrasi dinilai lebih akomodatif dan representatif untuk suatu kerjasama yang langgeng. Ini tentu menjadi tantangan berat bagi dunia Islam dalam upaya menciptakan regionalisme yang sesungguhnya karena spektrum ideologi akibat pengaruh Barat dan rezim di masing- masing negara Islam sangat bervariasi. Tetapi menurut penulis hal ini bukannya menjadi mitos yang tak bisa terselesaikan.

Terpecahnya negara- negara Islam dan sarat konflik laten bahkan seringkali menjelma menjadi konflik manifes lebih dikarenakan mereka telah melupakan konsep syura dalam Islam. Suatu konsep yang lebih representatif daripada demokrasi Barat. Inilah tantangan berat dunia Islam untuk kembali menjadikan ideologi Islam sebagai satu- satunya basis upaya menuju integrasi regional guna menyongsong bangkitnya pan Islamisme di masa mendatang . Dapat disimpulkan bahwa dunia Islam memiliki konsep yang pure dan bukan hasil adopsi apalagi saduran dari Barat sehingga cita-cita menggapai kembali kejayaan Pan Islamisme tergantung pada kesediaan mereka untuk memakai ”milik sendiri” ataukah justru tetap terpuruk dengan ”konsep pinjaman”. Jawabannya terletak di pundak dunia Islam sendiri.

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply