Formasi Lengkap Tim #MenyapaNegeriku Kabupaten Aceh Timur Berfoto Bersama Menristek Dikti dan Jajaran Dirjen SDID. (Foto: Dikti)
Formasi Lengkap Tim #MenyapaNegeriku Kabupaten Aceh Timur Bersama Menristek Dikti,Prof. Dr. M Nashir dan Jajaran Dirjen SDID. (Foto: Dikti)

PEUREULAK, ACEH TIMUR – Pemerintah selalu identik dengan status quo, sebagai kalangan elit mereka senantiasa dikesankan kurang peduli pada kaum alit. Pemerintah kerap digambarkan sebagai menara gading yang sulit tersentuh atau bahkan enggan ‘turba” alias turun ke bawah untuk berbaur dengan rakyat kelas menengah ke bawah. Apalagi jika berbicara mengenai JAKARTA sebagai tidak hanya ibukota melainkan kota megapolitan, maka menyebut daerah 3T (Terluar, Terdepan dan Tertinggal) seolah melihat komparasi langit dan bumi. Bahkan belum lama ini, Rodrigo A. Chaves (2015), Kepala Perwakilan World Bank untuk Indonesia menyatakan terjadi ketimpangan yang sangat mencolok antara kalangan menengah ke atas yang hidup di perkotaan dengan masyarakat miskin di perdesaan khususnya di daerah 3T.

Tetapi, persepsi semestinya harus mulai diubah bahkan secara revolusioner. Khususnya jika berbicara mengenai sektor pendidikan. Sejak 2011 misalnya, melalui sosok lembut penuh perhatian, Agus Susilo Hadi, pemerintah mencetuskan Program SM3T yaitu sebuah Program dimana Sarjana Mendidik di daerah 3T dimaksud. Sebuah program terobosan nan visioner karena membuka paradigma lama bahwa pembangunan selalu bersifat top-down. Betapa tidak. Jika dalam beberapa dekade ke belakang pembangunan kerap bermula dari perkotaan atau urban, maka Program SM3T bersifat bottom-up atau jika dibaca melalui perspektif Nawacita Presiden Joko Widodo, membangun dari pinggiran. Memulai dari bawah. Pergerakan dari ranah terdepan, terluar dan tertinggal di seluruh wilayah NKRI.

Menurut Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Surapranata (2015), program SM3T sejak pertama kali dirintis telah merekrut generasi muda berpikiran visioner dan memiliki spirit membangun negeri sebanyak 12.500 lebih. Belasan ribu guru ini selain memiliki kualitas yang diakui dengan lolos seleksi resmi pemerintah, juga kaya pengalaman karena telah setahun berkecimpung dengan serpihan-serpihan realita dunia pendidikan di tempat yang terkadang tak terpikirkan oleh penduduk urban perkotaan. Apresiasi daerah dan sekolah khususnya warga dan peserta didik di daerah 3T pun begitu tinggi terhadap Program Sm3T ini mengingat kontribusinya yang besar dalam rangka mempercepat pembangunan bangsa khususnya di ranah pendidikan (dasar dan menengah).

#MenyapaNegeriku: Tak Kenal Maka Ta’aruf

Jika sebelumnya, monitoring dan evaluasi (monev) terhadap Program SM3T sejak dirintis dilakukan internal kementerian terkait dan kalangan dosen atau guru, maka sekali lagi sosok Agus Susilo Hadi (saat ini menjabat sebagai Kabag Perencanaan dan Penganggaran Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti) menampilkan dirinya sebagai pejabat pemerintah yang ‘berbeda’. Berbeda tentu dalam artian positif. Pada 2015 (tahun ke-5 Program SM3T) menggagas sebuah Program lain untuk melibatkan publik luas dalam rangka menilai dan memberikan evaluasi terhadap eksistensi dan kontribusi serta dedikasi guru peserta SM3T.

Dibalik niat tulus ikhlas, selalu ada anugerah Tuhan yang turun menderas. Program #MenyapaNegeriku yang telah mendapatkan persetujuan penuh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muh. Nasir, diluncurkan melalui jejaring daring (online) mendapatkan respon positif publik. Program yang menuntut penyeleksian ketat untuk mendapatkan SDM berkualitas yang tidak hanya mampu melakukan monev melainkan pula berbagi inspirasi dengan warga pelosok negeri ini pada pekan pertama menerima formulir pendaftaran sebanyak hampir mendekati 10.000 aplikan. Besarnya animo publik membuat Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti sampai harus melakukan Konferensi Pers untuk memberitahukan bahwa pendaftaran ditutup seminggu lebih cepat dari jadwal aslinya. Uniknya lagi, pengumuman tersebut justru makin membuat animo publik kian tak terbendung. Hingga penutupan, pada Jumat (13/11) jumlahnya mencapai angka 47.523 pelamar.

Jumlah Pendaftar dan Jangkauannya ke Publik Melalui Media Sosial Facebook. Ini Belum Jangkauan melalui media sosial lain seperti Youtube dan Twitter.(Foto: Koleksi Pribadi, 29/11/2015)
Jumlah pendaftar dan jangkauannya ke publik melalui Facebook. Belum termasuk media sosial lain seperti Youtube dan Twitter.(Foto: Koleksi Pribadi, 29/11/2015)

Dari jumlah yang begitu besar akhirnya melalui seleksi ketat bersifat administratif (formulir, kelengkapan data dsb) dan wawancara melalui telepon dan surel (email), terpilihlah 44 kandidat (semula direncanakan 33 kandidat terpilih tetapi besarnya animo masyarakat peserta ditambah 11). Mereka dikumpulkan di Hotel Atlet Century Park, Jakarta untuk diberikan pembekalan sekaligus dilepas secara resmi oleh Menristek Dikti.

Ini menakjubkan bahwa untuk Monev yang melibatkan hanya 44 peserta pejabat setingkat Menteri berkenan ‘turun ke bawah’ tidak hanya melepas secara resmi tetapi juga memberikan arahan dan informasi detail mengenai program kementeriannya sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansi. Tetapi lebih penting dari itu semua, bahwa kementerian ini mempelopori bahwa paradigma lama pejabat pemerintahan seperti diungkap di awal tulisan ini telah diubah dan sebenarnya demikianlah pemaknaan program nasional Revolusi Mental mesti dilakukan alih-alih sekedar pemasangan iklan di media massa semata.

Dalam kesempatan ini, peserta juga mendapatkan materi ‘survivalitas’ dari organisasi WANADRI dan Tim Kementerian Kesehatan. Setelah sebelumnya dilakukan pembagian Tim tiap daerah dimana dari 54 kabupaten pengabdian guru Sm3T, diambil secara acak pada 11 kabupaten yakni Kabupaten Simeuleu, Kabupaten Aceh Timur (kebetulan penulis berada di grup ini), Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Berau, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ende, Kabupaten Sitaro, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Teluk Bintuni. Daerah pemilihan ini bahkan juga termasuk daerah tertinggal menurut versi terbaru pemerintah  (laman Sekretariat Kabinet, 18/12/2015).

Menteri Ristek Dikti, Muh. Nasir Saat Memberi Arahan, Pembekalan dan Pelepasan 44 Peserta #MenyapaNegeriku, Jakarta, Minggu (29/11/2015).
Menteri Ristek Dikti memberi arahan, pembekalan dan melepas secara resmi 44 Peserta #MenyapaNegeriku, Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Menapak Bumi Rencong

Setelah pembekalan, maka 11 tim diterjunkan ke daerah tujuan masing-masing. Sebagai peserta (mayoritas memilih sendiri daerah tujuannya), menjadi sangat terhormat dan membanggakan bisa menyapa saudara/i saya di bumi belahan Indonesia bagian barat. Tidak hanya istimewa karena begitu ‘unik’ tetapi juga menantang mengingat masih terjadi aktivitas sparatis. Menantang mengingat saya mendaftar dalam status sebagai periset (kajian ilmu sosial) dan inspirator serta pegiat gerakan sosial kemasyarakat.

Tim saya pun variatif nan unik. Keseluruhan pesertanya ada 5 orang. Selain saya, ada Mbak Sylvie Tanaga pegiat DoctorShare, alumnus Hubungan Internasional dan sedang menempuh S2 jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia. Beliau ini pecinta fotografi, hobi dan gemar menulis. Ada Mbak Vika Restu yang merupakan pakar pendidikan anak berkebutuhan khusus atau ortopedagogis. Ortopedagogik sendiri secara terminologi adalah pendidikan yang bersifat meluruskan,menyembuhkan dan menormalkan anak-anak (berkebutuhan khusus, ABK). Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 16, pengertian Ortopedagogik adalah Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Saya baru ngeh mengapa Mbak Vika Restu yang seharusnya masuk tim Kabupaten Simeuleu dipindahkan ke tim kami, ternyata di penempatan kami terdapat satu Sekolah Luar Biasa (SLB Cahaya, akan diceritakan terpisah di artikel berikutnya) yang menampung 43 anak berkebutuhan khusus, ABK. Keahlian beliau lah yang membuatnya ditarik ke tim kami, Aceh Timur.

Tim kami juga melibatkan mas Ramadhan Wibisono seorang jurnalis TV nasional (TvOn*) yang merupakan peserta tertua di antara kami tetapi orangnya humoris, alumnus jurusan jurnalistik Unpad ini sekarang menjabat Kordinator Liputan (berarti berada indoor di kantornya setelah lama berjibaku dengan tugas yang bersifat outdoor). Beliau pulalah satu-satunya peserta yang telah menikah dan baru saja dikaruniai seorang anak (usia lima bulan jika tak keliru informasi) tetapi berkenan bergabung demi program luar biasa ini. Terakhir ada mahasiswa akhir, Mas Dwi Prasetyo asli Semarang. Beliau merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Fisika UNS dan pegiat sosial budaya. Aktivis pergerakan mahasiswa dengan segudang prestasi dan ide kreatif tapi paling polos dan sabar di antara kami. Mungkin karena faktor usia saja.

Oh ya, kami ditemani satu pendamping, Mbak Juni Safitri (alumni Program SM3T angkatan IV dengan penempatan Aceh Timur) dan satu peninjau, Mbak Rara Agung Rengganis (dokter umum di bagian ibu dan anak dari RSUD Leuwiliyang, Bogor).

Nah, dengan komposisi demikian hebat nan komplit, tim Aceh Timur berangkat menuju Bandara Kualanamu, Medan. Pilihan bandara ini sebab jarak destinasi terdekat dapat diakses melalui Medan dan bukannya Banda Aceh. Setibanya di Kualanamu kami disambut guru peserta SM3T yang berangkat dari penempatan mereka sejak pukul 2 dini hari. Melanjutkan dengan sarapan pagi kuliner khas, Lontong Medan kami meneruskan perjalanan menuju Kecamatan Peureulak kurang lebih 4-5 jam.

Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur Berfoto Bersama Guru SM3T Yang Menjemput Kami di Bandara Kualanamu, Medan (1/12/2015).
Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur berfoto bersama Guru SM3T yang menjemput kami di Bandara Kualanamu, Medan (1/12/2015).

Lokasi penempatan awal kami adalah sebuah lembaga pendidikan bernama SLB Cahaya. Tepatnya di Dusun Pulo Ibeuh Desa Lhok Gampong Lhok Dalam Peureulak, Aceh Timur. Daerah berawa tetapi lumayan ‘maju’ menurut perspektif masyarakat urban. Setelah melakukan perkenalan singkat dengan perintis SLB Cahaya, Bapak Mukhtar dan Ibu Nur Aini kami antusias berinteraksi dengan peserta didik SLB Cahaya yang tak tampak ‘berbeda’ dengan kami. Mereka ceria, wajah penuh kebahagiaan dan tentunya khas anak-anak. Ini pengalaman pertama ke Aceh sekaligus langsung Tuhan pertemukan dengan mereka yang terkadang ‘tersisihkan’ oleh masyarakat dan lebih banyak dianggap ‘aib’. Bagiku mereka malaikat kecil yang lucu dan penuh anugerah. Yah, suasana haru menyelimuti batin dan jiwa kami para peserta #MenyapaNegeriku. Tuhan takdirkan kami justru awal memijak bumi Serambi Mekkah oleh ‘malaikat’Nya. Bagian dari puzzle pendidikan kita yang mesti diurai dan mesti mendapatkan perhatian khusus, lebih-lebih di daerah 3T.

Perintis Satu-Satunya SLB di Aceh Timur. Pasangan Suami Istri, Bapk Warsito dan Ibu Nur Aini Yang Bertindak Sebagai Ketua Yayasan dan Kepala Sekolah. Merintis SLB Cahaya Pada 2011. (Foto: Koleksi Pribadi)
Perintis Satu-Satunya SLB di Aceh Timur. Pasangan Suami Istri, Bapk Mukhtar dan Ibu Nur Aini Yang Bertindak Sebagai Ketua Yayasan dan Kepala Sekolah. Merintis SLB Cahaya Pada 2011. (Foto: Koleksi Pribadi)

 

Keceriaan Sebagian Anak Berkebutuhan Khusus Saat Menyambut Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur. (Foto: Koleksi Pribadi)
Keceriaan Sebagian Anak Berkebutuhan Khusus Saat Menyambut Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur. (Foto: Koleksi Pribadi)

Sebenarnya, keinginan berbagi inspirasi dari tim justru diawali oleh terinspirasinya kami oleh ide, perjuangan dan perjalanan Bapak Mukhtar dan Ibu Nur Aini yang dengan penuh kesadaran, ikhlas dan dedikatif merintis Sekolah Luar Biasa dimana merupakan yang pertama di daerah pemekaran ini dan di tengah anggapan masyarakat khususnya daerah 3T mengenai ABK ini. Beliau berdua menginspirasi kami. Disinilah saya kira konsep pembelajaran dan pendidikan menemukan relevansi, saling belajar antara kedua belah pihak. Terjadi timbal balik dan tidak strukturalis melainkan equal dan egaliter.

Kami sampai di destinasi saat sang mentari beranjak menuju ke peraduannya kembali. Beruntung waktu maghrib di sini baru tiba pukul 7 malam (menurut saya yang asli Surabaya). Sehingga interaksi kami dengan para ABK menjadi lebih lama dan dalam suasana gayeng. Di sinilah ‘pembagian kerja tim” bekerja secara alamiah. Mbak Vika didampingi Juni tentunya membantu kami berkomunikasi dengan peserta didik luar biasa ini. Ada pula guru SM3T khusus SLB, Mbak Sarah. Sedangkan Mbak Sylvie berusaha mengabadikan momen langka ini sembari tetap berkomunikasi. Saya, Mas Rama dan Mas Dwi dengan bebas bercengkerama seolah tiada sekat ‘bahasa’ di antara kami. Suasana cair membuncah, tetiba mesti buyar mengingat waktu maghrib tiba.

Aksi Kami Sesaat Seusai Bercengkerama dengan ABK dari SLB Cahaya, tempat kami menginap selama 2 hari 2 malam. (Foto: Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur)
Aksi Kami Sesaat Seusai Bercengkerama dengan ABK dari SLB Cahaya, tempat kami menginap selama 2 hari 2 malam. (Foto: Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur)

Seusai program ishoma dengan menu kuliner khas Aceh racikan siswi dan guru SLB Cahaya, maka bergegas berganti pakaian untuk menghadap Bapak Syahrial seorang keplor (kepala lorong, semacam Ketua RW di masyarakat Jawa) untuk melaporkan sekaligus mohon ijin tim kami menginap di SLB. Mengingat hukum adat di Aceh dimana syari’at Islam-nya cukup ketat maka jika ada tamu dan berlainan jenis akan tinggal di satu wilayah/tempat yang harus ijin agar tidak menimbulkan kecurigaan polisi syariah. Seharusnya yang kita temui adalah Tengku Bukhari (ulama lokal) tetapi berhubung beliau sedang ke daerah Lhokseumawe, maka laporan dan permohonan ijin ke keplor.

Memang dalam amatan kami yang cukup singkat sejak masuk wilayah Aceh Timur khususnya Peureulak nuansa Islami begitu kental dan aroma religiusnya begitu semerbak. Para inong (wanita) berpakaian tertutup berbalut jilbab dan lelakinya memakai celana panjang, sarung atau minimal pakaian bawah yang melebihi lututnya. Sejak lama memang Aceh identik dengan penegakan syari’ah. Apalagi Peureulak merupakan basis Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara, Kerajaan Islam Peureulak (berdiri sejak abad ke-7 Masehi).

Disambut Bak ‘Saudara’, Sharing Inspirasi Dimulai

Rabu (2/12) pagi, seusai sarapan pagi bersama adik-adik luar biasa dan sekali lagi dengan menu kuliner lokal yang acapkali ‘baru’ bagi perut kami, perjalanan berlanjut ke SMAN 1 Peureulak untuk prosesi penyambutan kami sebagai tim dalam balutan adat Aceh. Tari Ranup Lampuan dari 5 gadis cantik usia SD menyambut kami disaksikan ratusan pasang mata membuat kami terharu disambut begitu meriah. Tari Ranup Lampuan ini merupakan visualisasi dari salah satu filosofi hidup warga Aceh, yakni menjunjung keramah-tamahan dalam menyambut tamu. Gerakan demi gerakan dalam Ranup Lampuan menggambarkan prosesi memetik, membungkus, dan menghidangkan sirih kepada tamu yang dihormati, sebagaimana kebiasaan menghidangkan sirih kepada tamu yang berlaku dalam adat masyarakat Aceh.

5 Gadis Kecil Nan Cantik Menyambut Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur Dengan Tarian Ranup Lampuan Yang Penuh Makna dan Keren. (Foto: Sylvie Tanaga)
5 Gadis Kecil Nan Cantik Menyambut Tim #MenyapaNegeriku Aceh Timur Dengan Tarian Ranup Lampuan Yang Penuh Makna dan Keren. (Foto: Sylvie Tanaga)

Seusai dikalungi bunga oleh para penari dan saya mengambil pinang yang dibungkus sirih (ranup) dalam lampuan (wadah sejenis baskom ukuran sedang tempat menaruh sirih khas Aceh), saya dan tim masing-masing menaruh uang ‘seikhlas’nya. Menurut cerita begitulah tradisinya.

Isi dalam sirih yang kami ambil adalah pinang. Kemudian kedua benda ini kami makan. (Foto: Sylvie Tanaga)
Isi dalam sirih yang kami ambil adalah pinang. Kemudian kedua benda ini kami makan. (Foto: Sylvie Tanaga)

Tatkala memasuki ruangan Aula SMAN 1 Peureulak, kami pun disambut ratusan siswa/i, guru dan tentunya guru-guru peserta SM3T angkatan V dan GGD (Guru Garis Depan) 2015, tokoh masyarakat, tokoh adat, polisi, TNI dan jajaran Dinas Pendidikan Aceh TImur serta SKPD tingkat Kecamatan Peureulak yang menyambut kami untuk sesi adat berikutnya.

12316255_10153760646673571_3826753988002524062_n

Kami pun diterima dengan Tarian Kreasi Aceh yang terdiri dari banyak penari dan menceritakan keseharian anak muda Aceh saat bermain. Tarian sangat ritmik dan terdapat paduan di dalam variannya dengan Tari Saman.

Tarian Kreasi Aceh ini sungguh memukau.
Tarian Kreasi Aceh ini sungguh memukau.

Setelah tarian yang berdurasi kurang lebih setengah jam secara keseluruhannya itu saya dan Mbak Rara diminta mewakili Tim untuk dilakukan upacara adat Peuseujuk. Semacam tradisi mendoakan agar tenteram, selamat dan berkah hidupnya. Upacara ini dipimpin oleh Ketua Majelis Adat Aceh, Tengku Abdurrahman. Setelahnya acara sambutan dari Dinas Pendidikan Aceh Timur lalu disusul Tokoh Masyarakat, Bapak Usman Yacoub lalu giliran saya memberi sambutan mewakili Tim. Acara berlanjut dengan diskusi tentang Adat Aceh bersama Bapak Usman Yacoub, Tengku Abdurrahman, dimoderatori oleh Mas Rama.

Prosesi Peuseujuk oleh Tengku Abdurrahman. (Foto: Tim #MenyapaNegeriku)
Prosesi Peuseujuk oleh Tengku Abdurrahman. (Foto: Tim #MenyapaNegeriku)
Para Narasumber Diskusi Tentang Adat Aceh khususnya Sejarahnya dan Mengenai Tradisi Peuseujuk. (Foto: Tim Aceh Timur)
Para Narasumber Diskusi Tentang Adat Aceh khususnya Sejarahnya dan Mengenai Tradisi Peuseujuk. (Foto: Tim Aceh Timur)

Seusai acara adat dan tradisi kami disambut dengan acara ramah tamah dengan beragam kuliner khas Aceh. Nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kami dustakan. Saya tidak ingat nama satu per satunya karena begitu menikmati suguhan kuliner lokal yang nikmat nan lezat itu 🙂

Selepas acar kami kembali ke SLB Cahaya, ada sesi berbagi kembali dengan anak-anak luar biasa di sini. Mulai melihat hasil karya anak SLB, Tarian Ranup Lampuan dari anak-anak luar biasa dan tentunya sesi sharing yang membuat suasana gayeng dan seperti kami telah kenal lama.

Tarian Ranup Lampuan dari anak-anak luar biasa SLB Cahaya. Keren kan mereka :)
Tarian Ranup Lampuan dari anak-anak luar biasa SLB Cahaya. Keren kan mereka 🙂

Untuk malam harinya tim melakukan tradisi nyangkruk kalau kata orang Surabaya. Semacam kumpul bareng dan berbaur dengan masyarakat sembari menikmati Kopi Aceh yang khas. Di momen ini cerita tentang perjuangan luar biasa peserta SM3T lebih dalam kami gali, setelah di siang harinya kami berdiskusi dengan Guru Garis Depan (ini adalah alumni SM3T juga menurut ceritanya) yang mesti mengabdi di daerah 3T selama minimal 10 tahun. Ada yang 15 bahkan 20 tahun sesuai kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

Ada seorang guru GGD yang mesti bersabar menghadapi fase-fase berat apalagi beliau ditempatkan di daerah yang terkadang sebagian separatis GAM yang masih ‘sakit hati’ masih bergerilya sehingga beliau sampai mau memesan rompi anti-peluru karena kerap kalau melewati medan menuju sekolahnya terjadi baku tembak antara aparat keamanan dengan pihak separatis ‘sakit hati’.

Menurut saya cerita mas Joko (guru GGD) ini yang paling mengesankan karena berjibaku tidak hanya dengan fasilitas kehidupan minus di daerahnya melainkan fase psikis yang butuh kesabaran luar biasa untuk bisa bertahan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana kerap digaungkan oleh SM3T.

Sore harinya kami diantar Pak Nasri dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Timur mengunjungi sekaligus berziarah ke situs Makam Raja (Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah) Kerajaan Islam Peureulak di Paya Meuligau. Di sini menurut rencana pada 2016 dengan memakai APBD Aceh Timur akan dibangunan Monisa (Monumen Islam Asia Tenggara).

Memimpin Doa Tahlil Saat Ziarah Kubur Ke Situs Makam Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. (Foto: Sylvie Tanaga)
Memimpin Doa Tahlil Saat Ziarah Kubur Ke Situs Makam Sultan Alaiddin Sayed Maulana Abdul Aziz Syah. (Foto: Sylvie Tanaga)

Di malam hari ini, diskusi dengan guru SM3T lainnya menjadi lebih santai dan suasananya lebih ramai karena masyarakat juga ada. Tak lupa beberapa anak SLB yang cowok ikut bersama tim. Hari berikutnya kami membagi tim untuk memperluas segmen jangkauan. Mas Rama di SMAN 1 Peureulak berbagi mengenai ilmu jurnalistik dasar, saya dan mas Dwi ke SMPN 2 Peureulak Timur, Mbak Rara dan Mbak Juni ke TK Pembina di Idi (ibukota Aceh Timur yang baru), Mbak Vika berbagi mengenai cara mengajar ABK kepada guru TK dan PAUD serta guru SLB, sedangkan Mbak Sylvie adakan program Mural bersama murid-murid SLB.

Pembagian ini bertujuan agar makin banyak yang merasakan eksistensi kami diluar tugas kami mengetahui bagaimana guru SM3T berjibaku dengan tugas dan tanggung jawab mereka selama di daerah penempatan.

Aksi Saya Saat Memberikan Motivasi, Pemakaian Paradigma Baru Dalam Mengajar dan Sharing Problematika Manajemen Sekolah (Baru). (Foto: Koleksi Pribadi)
Aksi Saya Saat Memberikan Motivasi, Pemakaian Paradigma Baru Dalam Mengajar dan Sharing Problematika Manajemen Sekolah (Baru). (Foto: Koleksi Pribadi)

 

Mas Rama Saat Pemberian Materi dan pelatihan Jurnalistik Dasar.
Mas Rama Saat Pemberian Materi dan pelatihan Jurnalistik Dasar. (Foto: Koleksi Mas Rama)

 

Mas Dwi Saat Berkotor-kotor Mengajari Cara Membatik Bagi siswa/i SMPN 2 Peureulak Timur. (Foto: Henny Guru SM3T)
Mas Dwi Saat Berkotor-kotor Mengajari Cara Membatik Bagi siswa/i SMPN 2 Peureulak Timur. (Foto: Henny Guru SM3T)

 

Mbak Rara Saat Pelatihan Hidup Sehat Kepada Guru dan Kader Kesehatan di Idi. (Foto: Koleksi Mbak Rara)
Mbak Rara Saat Pelatihan Hidup Sehat Kepada Guru dan Kader Kesehatan di Idi. (Foto: Koleksi Mbak Rara)

 

Anak-Anak SLB Cahaya Pose Gembira Sesaat Mural Mereka Jadi, Programnya Mbak Sylvie. (Foto: Koleksi Sylvie)
Anak-Anak SLB Cahaya Pose Gembira Sesaat Mural Mereka Jadi, Programnya Mbak Sylvie. (Foto: Koleksi Mbak Sylvie)

 

Mbak Juni Berpose Bersama Para Guru Usai Pemberian Materi dan Pelatihan Sederhana Mengenai Teknik Mengajar. (Koleksi Mbak Juni)
Mbak Juni Berpose Bersama Para Guru Usai Pemberian Materi dan Pelatihan Sederhana Mengenai Teknik Mengajar. (Koleksi Mbak Juni)

Acara hari Kamis benar-benar melelahkan tetapi tim tidak cukup sampai di sana. Sore harinya kami harus langsung meluncur ke daerah Lokop (kecamatan “terekstrem” dalam 5 hari keberadaan kami di Aceh Timur). Berbekal mobil pick-up (baca: pikep) kami menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam. Lumayan lama, bukan hanya karena jauh tetapi sebagian perjalanan ditempuh di malam hari dengan kondisi jalan sebagian besar rusak dan becek akibat hujan deras yang mengguyur sore harinya. Daerah Lokop tidak ada sinyal telepon/seluler apapun walau ada tower menjulang tinggi.

Walau kendaraannya pikep, anak-anak tetap bahagia menuju Lokop. (Foto: Sylvie Tanaga)
Walau kendaraannya pikep, anak-anak tetap bahagia menuju Lokop. (Foto: Sylvie Tanaga)

Kami tiba di lokasi (SMPN 1 Lokop) tepat pukul 9 malam. Kelelahan, setelah makan malam dan diskusi pendek sebagian saja, sebagian memilih langsung tidur. Paginya kami merencanakan sharing pengalaman dengan guru SM3T, GGD se-Aceh Timur. Tujuan rencana sharing-nya di Air Terjun Terujak. Berlokasi kurang lebih 2 jam perjalanan dengan medan yang cukup terjal. Menaiki dan menuruni bukit, melewati lembah dan menyusuri sungai sebelum sampai ke lokasi. Hanya mas Rama yang tidak ikut dan memilih berbagi keilmuannya tentang jurnalistik dasar pada siswa-siwi SMPN 1 Lokop.

Mungkin satu-satunya yang bisa dinamakan ‘wisata’ adalah air terjun yang masih asri dan tergolong ‘perawan’ ini. Mengapa saya memakai tanda kutip karena perjalanan menuju lokasi lebih mirip hiking khas anak Pramuka. Jadi flash back sebentar saya akan masa indah sebagai anak Pramuka.

Sarapan Bersama Di Alam Terbuka Sebelum Menuju Lokasi Air Terjun Terujak.
Sarapan Bersama Di Alam Terbuka Sebelum Menuju Lokasi Air Terjun Terujak. (Foto: Sylvie Tanaga)

 

Mas Rama di Kelas Jurnalistik Dasar SMPN 1 Lokop. (Foto: Tim SM3T)
Mas Rama di Kelas Jurnalistik Dasar SMPN 1 Lokop. (Foto: Tim SM3T)

 

Foto bersama (wefie) dengan latar Air Terjun Terujak. (Foto: Tim SM3T)
Foto bersama (wefie) dengan latar Air Terjun Terujak. (Foto: Tim SM3T)

Seusai sesi curhat dan pem-video-an kisah perjuangan guru SM3T dan GGD kami kembali ke lokasi dan tiba sore hari mengingat medan yang terjal dan lamanya perjalanan yang ditempuh dengan jalan kaki. Kami akan kembali ke Peureulak dan kemudian ke Langsa mengejar jadwal pulang ke Jakarta. Mengingat perjalanan Aceh Timur ke Medan sekitar 5 jam maka kami berangkat pagi hari dari Aceh Timur.

Hikmah: Membangun Negeri Tak Kenal Henti

Aceh Timur hanyalah satu serpihan dari sekian serpihan puzzle bernama Indonesia. Program #MenyapaNegeriku menjadi ‘jembatan’ bagi kami sebagian anak bangsa, generasi muda penerus cita-cita kemerdekaan untuk lebih mengenal Indonesia. Membaca realitas di pelosok negeri dan memetik arti dari sebuah perjalanan hidup bangsa ini.

Aceh (Timur) begitu lama bergulat dengan konflik sejak era awal kemerdekaan, masa Tengku Daud Beureueh hingga terakhir pada 2005 pasca Tsunami melanda Serambi Mekkah ini, masyarakat mulai jenuh, mereka sadar bahwa untuk membawa kesejahteraan warganya maka bernaung dalam tubuh NKRI adalah keharusan. Masyarakat jenuh dengan konflik. Mereka trauma dengan baku tembak dan berpindah serta bergerilya. Mereka ingin hidup makmur.

Setidaknya itulah penggalan kesan yang kami tangkap dari sopir kami yang mantan kombatan GAM, reaksi masyarakat akan semua program pemerintah mulai pembangunan infrastruktur jalan, sekolah dan gedung pemerintahan. Mereka bersyukur dan sadar bahwa Indonesia adalah mengenai bersatu dan saling membahu membangun.

Tentu bukan tanpa masalah, pembangunan fisik memanglah bisa dikatakan bagus di Aceh Timur sebagai bagian 3T. Tetapi psikis dan mental masyarakatnya belum beranjak dari karakteristik daerah 3T. Bagaimana membuat mereka sadar bahwa pendidikan (tak hanya agama melainkan juga pendidikan umum) merupakan hal yang urgen di era kekinian masih perlu digagas terus-menerus. Paradigma masyarakatnya yang masih belum memiliki kesadaran dan mungkin konsep hidup di masa depan membuat mereka cukup sederhana memandang hidup dan kehidupan, walau tentu tidak bisa digeneralisir.

Ke depan memang sepertinya perlu tidak hanya guru dalam artian formal-birokratis melainkan guru dalam artian perintis dan pelopor mental. Inspirator dalam pengertian luas untuk memasuki alam kesadaran masyarakat. Bagaimana tidak, seperti di SMPN 2 Peureulak Timur sebagai sekolah yang baru beroperasi Agustus 2015, paradigma stakeholders dan gurunya sudah obsolete. Sarana dan prasarana belajar bisa dikatakan memadai tetapi mental guru, murid dan pengelola institusi pendidikannya sebagian besar masih terjebak pada pola lama.

Program #MenyapaNegeriku bisa menjadi program #MembangunNegeriku (ucap Mbak Sylvie dalam sebuah diskusi lepas) dimana kemampuan 44 peserta dari kami bisa dikatakan sangat beragam dan luar biasa. Maka program tahun ini bisa dijadikan pengumpulan database guna memetakan permasalahan di daerah penempatan dan ke depannya program bisa dijadikan lebih lama dengan target tertentu yang revolusioner. Ini bukan hanya sesuai dengan program Nawacita pemerintahan baru melainkan pula merupakan upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk benar-benar membangun dari ‘pinggiran’.

Betapa kami bahagia menyaksikan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi berkenan membuka kran bagi publik untuk bersama-sama melihat program mereka dan ikhlas dievaluasi oleh pihak luar. Sesuatu yang benar-benar revolusioner untuk ukuran birokrasi pemerintahan. Ke depan setelah menyapa, mengenal dan akrab maka saatnya #MembangunNegeriku bersama seluruh komponen bangsa dan dimulai dari ‘pinggiran’ sesuai visi-misi pemerintah.

Jika komitmen bersama ini bisa dilakukan dengan konsisten sebenarnya merupakan cara paling ampuh menjawab kritik publik mengenai pesimisme mereka akan nasib bangsa kekinian. Di saat bersamaan ekspose dari para peserta di media (sosial/massa) membuat publik sadar pemerintah terus bekerja membangun negeri sesuai tagline terbaru salah satu BUMN kita yang telah go public “Tiada Henti Membangun Negeri”. Karena lebih baik menyalakan lilin walau kecil daripada terus menerus mengutuk kegelapan.

Saya percaya satu hal, jika yakin bahwa kita mampu melakukannya maka Tuhan akan mengabulkannya. Karena Tuhan sesuai dengan persangkaan hambaNya. Yah hambaNya. Kita ini. Maka saatnya teriakkan #SalamAKUBISA menjadi #SalamKITABISA. Semoga.

Perjalanan Berkarya Untuk Negeri Memang Tak Mudah Tapi Yakinlah Di Ujung Sana Terdapat Cahaya HARAPAN Yang Akan Membantu Kita Senantiasa Optimis Untuk Tetap Tiada Henti Membangun Negeri.
Selalu ada secercah sinar harapan bagi mereka yang percaya. (Foto: koleksi pribadi)

By Bustomi Menggugat

Bustomi Menggugat adalah peneliti lepas dan analis politik. Keseharian beliau selain riset dengan berbagai lembaga, mengisi program TV dan radio juga kerap diundang mengisi topik kepemudaan dan mahasiswa. Bustomi Menggugat juga merupakan tim muda Kuliah Tjokroaminoto Untuk Kebangsaan dan Demokrasi Unair. Di luar aktivitas hariannya, beliau menyukai dunia travelling, tulis menulis dan blogging sehingga kerap diminta mengisi dengan topik terkait oleh berbagai lembaga dan komunitas. Untuk mengundang beliau bisa kontak berikut ini: Email: [email protected] Kontak: 0812-5266-3905 (Whatsapp Only)

Leave a Reply